PWMU.CO – Singa Padang Pasir itu Tewas dalam Pertempuran 10 November di Surabaya. Pernyataan itu disampaikan pembina upacara Choirul Isak MPd saat memperingati Hari Pahlawan 10 November, Rabu (10/11/2021)
Upacara berlangsung di lantai 7 gedung baru SMA Muhammadiyah 1 (Smamsatu) Gresik Jalan Dr Wahidin Sudirohusodo 162 Gresik.
Upacara yang dilaksanakan secara hybrid—memadukan tatap muka dan daring. Yang mengikuti sacara tatap muka adalah guru, karyawan, dan siswa kelas X MBS, X-6, dan kelas XI. Sedangkan siswa kelas XI Bahasa, IPS, MIPA, X-2, X-3, X-4, X-5 dan X-7 dapat mengikuti melalui Zoom.
Sebagai pembina upacara, Choirul Isak MPd mengingatkan peserta tentang peristiwa 10 November 1945 di Surabaya.
Dia menjelaskan setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945, tentara Belanda dan Inggris ingin menguasai kembali bangsa Indonesia. ” Hal itu yang membuat arek-arek Suroboyo mengangkat senjata,” ujarnya.
Belanda mengabarkan kepada dunia bahwa Indonesia itu sudah ditaklukkan atau tidak ada. “Namun pernyataan Belanda itu dipatahkan pada peristiwa heroik 10 November 1945 di Surabaya,” ujarnya.
“Jenderal Malaby tewas dalam pertempuran,” tambahnya. Jenderal dari Inggris itu dikenal kejam. Ia dijuluki singa padang pasir. Namun dalam pertempuran itu ia tewas.
Tewasnya Jenderal Malaby tidak lepas dari seruan jihad. “Para kiai dari berbagai pondok pesantren di Jawa Timur membentuk laskar dan menyerukan jihad. Siapapun Muslim yang meninggal karena membela negara dan menumpas penjajah, maka dia akan masuk surga,” jelasnya.
Pejuang Tak Saling Mengenal
Seruan jihad inilah yang menggerakkan para pejuang. “Sehingga pertempuran 10 Nopember itu adalah pertempuran yang sangat frontal,” tegasnya.
Hal itu, lanjutnya, karena siapapun yang mendengar seruan jihad, dengan sukarela berangkat berjuang. Orang dewasa, pelajar, dan santri, semuanya bergerak.
“Bahkan di antara mereka tidak dapat saling mengenal. Apakah itu adiknya,pamannya, atau saudaranya,” begitu pemaparannya.
Sambil menceritakan keluarganya yang pergi perperang tanpa memberitahu di mana markas perjuanganya.
Choirul Isak kemudian menceritakan pakdenya yang di Kediri pulang ke Kertosono naik sepeda ontel (sepeda kebo, istilahnya) mencari adiknya yang ikut berjuang karena sempat hilang dalam pertempuran.
“Setelah ditemukan, pakde dan adiknya pulang. Dari Kertosono ke Kediri berboncengan naik sepeda ontel lagi,” kenang Pak Isak, sapaannya.
Kenang Jasa Pejuang dengan Belajar
Chirul Isak mengatakan, untuk mengenang jasa pejuang, maka tugas pelajar adalah belajar dengan baik. Juga menghormati guru dan orang tua, “Setelah lulus kuliah, bisa melanjutkan pembangunan bangsa Indonesia,” harapnya. (*)
Penulis Estu Rahayu Editor Mohammad Nurfatoni