Menjadi Ayah yang Komunikatif oleh M. Anwar Djaelani, ayah dari tiga anak; tinggal di Sidoarjo.
PWMU.CO – Cara berkomunikasi itu sangat penting. Jika komunikasi yang kita peragakan buruk, tujuan baik bisa ditafsiri sebaliknya oleh pihak lain. Maka, tak hanya dengan masyarakat luas, bahkan dengan anak-anak sendiri pun kita—terutama para ayah—harus komunikatif.
Pintu Komunikasi
Ada petunjuk al-Qur’an agar perkataan kita komunikatif. Pertama, ucapkanlah perkataan yang benar. Perhatikan ayat ini: “Hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar” (an-Nisaa’ 9). Perkataan kita harus benar, baik isi maupun redaksionalnya.
Kedua, ucapkanlah perkataan yang baik. Simak ayat ini: “Perkataan yang baik dan pemberian maaf lebih baik dari sedekah yang diiringi dengan sesuatu yang menyakitkan (perasaan si penerima)” (al-Baqarah 263). Oleh karena itu, sampaikan perkataan yang santun, yang tak menimbulkan perasaan tak enak bagi yang menerima. Terkait ini, boleh menggunakan metafora (bahasa perlambang).
Ketiga, ucapkanlah perkataan yang mulia. Seksamai ayat ini: “Ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia” (al-Isra’ 23). Misal, berkata-katalah yang bermuatan ajakan untuk mengenal Allah dan mengibadahinya.
Keempat, ucapkanlah perkataan yang lemah-lembut. Cermati ayat ini: “Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah-lembut” (Thaha 44). Sampaikanlah dengan kata-kata yang terpilih dan dengan ekspresi ramah.
Kelima, ucapkanlah perkataan yang pantas. Perhatikan ayat ini: “Katakanlah kepada mereka ucapan yang pantas” (al-Isra 28). Ukuran pantas, bisa dilihat dari segi umur dan intelektualitas dari lawan bicara.
Keenam, ucapkanlah perkataan yang berbekas pada jiwa. Cermati ayat ini: “Katakanlah kepada mereka perkataan yang berbekas pada jiwa mereka” (an-Nisa’ 63). Agar berbekas, perkataan harus keluar dari hati kita yang ikhlas serta disampaikan secara tepat dan jelas.
Sekadar penegasan, agar kita komunikatif, maka gaya bicara dan pesan yang hendak kita sampaikan mesti disesuaikan dengan kadar keilmuan fihak yang kita hadapi. Perhatikan hadits ini: “Berbicaralah kepada manusia sesuai dengan kadar akal (intelektualitas) mereka” (HR Muslim).
Berikutnya, gunakan bahasa yang dimengerti oleh mereka. Perhatikan ayat ini: “Kami tidak mengutus seorang Rasul-pun, melainkan dengan bahasa kaumnya, supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka” (Ibrahim 4).
Dialog Ayah dan Anak
Sekarang, fokus kepada komunikasi antara ayah dan anak. Di dalam al-Quran ada banyak dialog antara orangtua dan anak. Sebagian besar di antaranya adalah dialog antara ayah dan anak.
Lihatlah Ibrahim AS dan anaknya, Ismail. Ada dua model komunikasi yang bisa disebut, langsung dan melalui perantara. Tapi dari kedua model, sama-sama efektif. Sama-sama konstruktif, karena penerima pesan dapat memahami dengan baik.
Berawal dari mimpi Ibrahim untuk mengorbankan Ismail. Ternyata, Ismail menerima kabar (baca: wahyu) itu dengan sabar. Perhatikan dialog di ayat ini: ”Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: ’Hai anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!’ Ia menjawab: ’Hai Bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; Insya-Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar’.” (ash-Shafhat 102).
Sekadar mengulang: Ismail anak shaleh. Dia sabar menerima situasi super-sulit. Tak ragu-ragu Ismail menyatakan sikap ketunduk-patuhannya kepada Allah lewat kalimat: “Hai Bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu. Insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.”
Dalam dialog antara Ibrahim dan Ismail yang terekam dalam al-Quran itu, sangat terasakan adanya perkataan yang benar, yang baik, yang mulia, yang lemah-lembut, yang pantas, dan yang berbekas di jiwa. Inilah komunikasi yang berhasil.
Bahasa Perlambang
Berikutnya, kita lihat bagaimana Ibrahim berkomunikasi dengan Ismail lewat bahasa perlambang (metafora). Di sebuah kesempatan, Ibrahim berkunjung ke Ismail. Sayang, hanya bertemu istrinya, sebab Ismail sedang tidak di rumah. Istri Ismail lalu menceritakan bahwa suaminya pergi berburu dan kehidupan mereka sangat sulit.
“Apabila suamimu datang, sampaikan salam dariku dan katakan agar ia mengganti palang pintu rumahnya,” kata Ibrahim kepada istri Ismail. Kemudian, Ibrahim pergi.
Saat Ismail pulang, berceritalah si istri.
“Tadi ada seorang tua yang sifatnya demikian (ia menyebutkan sifat-sifat Ibrahim). Ia bertanya tentang engkau dan aku kabarkan kepadanya. Dia juga bertanya tentang kehidupan kita dan aku kabarkan bahwa sesungguhnya kita dalam kesulitan. Dia menitip salam untukmu dan mengatakan agar engkau mengganti palang pintu rumahmu,” kata si istri.
“Dia adalah bapakku dan engkaulah yang dimaksud dengan ‘palang pintu’ itu. Kembalilah engkau kepada orangtuamu,” kata Ismail.
Rupanya, Ismail mudah menangkap bahasa perlambang yang dikirim sang ayah. Maka, sebagai anak yang taat kepada orangtua, tanpa ragu-ragu Ismail lalu menceraikan istrinya dengan bahasa “Kembalilah engkau kepada orangtuamu”.
Perhatikan pula komunikasi Ya’qub AS dan anak-anaknya, di ayat ini: “Adakah kamu hadir ketika Ya’qub kedatangan (tanda-tanda) maut, ketika ia berkata kepada anak-anaknya: ‘Apa yang kamu sembah sepeninggalku?’ Mereka menjawab: “Kami akan menyembah Tuhanmu dan Tuhan nenek-moyangmu, Ibrahim, Ismail dan Ishaq, (yaitu) Tuhan Yang Maha Esa dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya” (al-Baqarah 133).
Dalam dialog antara Ya’qub As dan anak-anaknya yang terekam dalam al-Quran itu, terasakan perkataan yang benar, yang baik, yang mulia, yang lemah-lembut, yang pantas, dan yang berbekas di jiwa. Inilah komunikasi yang berhasil, karena konstruktif.
Jadi, duhai para ayah, keberhasilan dakwah–termasuk ke keluarga sendiri–terutama kepada anak-anak-sangat ditentukan oleh penguasaan atas seni berkomunikasi. Oleh karena itu, kembangkanlah terus kecakapan berkomunikasi yang kita miliki sebab situasi terus berubah. Jadilah ayah yang menggugah. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni