Menengok Madrasah-Madrasah Dunia nan Hebat dan Indah oleh M. Anwar Djaelani, pecinta dan penulis buku.
Judul buku : Journey to the Light
Penulis : Marfuah Panji Astuti
Penerbit : Pro-U Media Yogyakarta
Terbit : 2021
Tebal : 120 halaman
PWMU.CO – Buku ini mungil, karena relatif tipis dan berukuran 12 x 20 cm. Tapi, dari narasi dan foto-fotonya yang full colour, kita seperti diajak rihlah. Kita bak bertamasya menikmati sejumlah madrasah berkelas dunia yang sampai kini masih punya daya gugah.
Mengapa fokus jalan-jalan ke madrasah? Hal ini karena, kata penulis, “Madrasah adalah cahaya. Ia suluh penerang yang mengantarkan manusia melewati lorong kegelapan menuju cahaya terang” (h. 6). Tentu, nantinya, akan banyak ditemui fakta bahwa “masjid dan madrasah adalah kelindan yang tak terpisahkan” (h 8).
Mahal dan Berharga
Buku ini ditulis oleh orang yang tepat, seorang Islamic Travel Writer. Modal dia, pengalaman 22 tahun sebagai wartawan. Perjalanan ke sejumlah benua telah dirasakannya. Dia pernah ke Andalusia, kota sejuta cahaya, tempat segala hal hebat berawal. Pernah ke sebagian Daulah Usmani yang kini bekas wilayahnya tersebar menjadi 60 negara. Juga, ke sebagian Daulah Abbasiyah dengan salah satu kotanya-Samarkand-yang berkilau cahaya pengetahuan.
Buku ini berupa catatan perjalanan dari si penulis yang dilakukannya setiap akhir tahun seusai umrah, dalam rentang 2012 sampai awal 2020. Ia begitu terinspirasi oleh perjalanan Ibnu Bathuthah yang dua kali grand journey-nya selalu diawali dari Baitullah.
“Menyimak” Rasulullah
Dari Madinah Berawal Sejarah, demikian buku dibuka. Bahwa, “Seratus dua puluh ribu manusia terbaik dididik di tempat mulia ini. Kurang dari satu abad cahaya hidayah telah tersebar ke seluruh penjuru bumi” (h 13).
Tempat mulia yang dimaksud adalah Masjid Nabawi. Lebih khusus lagi, tempat mulia itu adalah yang digunakan Rasulullah Saw untuk mendidik para shahabat. Luasnya tak lebih dari 22×15 m, tetapi energi yang terpancar sungguh luar biasa. “Kita bisa merasakan getar cinta dari taman surga. Tempat itu adalah Raudhah,” tulis Marfuah. “Di salah satu pilarnya yang diberi nama al-Mukhallaqah,” lanjut dia, “Rasulullah SAW membagikan ilmu atau menjawab segala persoalan umat” (h 15).
Pertama di Dunia
Kita ke Kota Fez, menikmati Nada-Nada Indah Mengalun dari al-Qarawiyun. Kita kenali sebuah madrasah hebat.
“Bermula dari satu titik di Kota Fez, Maroko, seorang perempuan anak saudagar kaya bernama Fathimah al-Fihri yang memulainya. Dia dermakan sebagian kekayaannya untuk mengongkosi universitas yang didirikannya. Itu jauh sebelum Universitas al-Azhar di Mesir maupun Universitas Oxford di Inggris berdiri. Sejak itu nada-nada indah mengalun dari al-Qarawiyyun” (h19).
Semua berawal dari aktivitas diskusi yang digelar para pedagang dari Desa Qairawan, Tunisia. Waktunya, usai shalat di masjid. Sejenak mereka rehat sebelum melanjutkan berdagang di pasar Fez yang posisinya persis di luar gerbang masjid.
Lalu, terbentuklah komunitas yang oleh masyarakat setempat dinamai Qairawaniyyin atau Qairawaniyyun. Komunitas itu berkembang, tak hanya pedagang asal Qairawan tetapi juga pedagang dari negeri-negeri lain dan penduduk lokal yang terlibat dalam diskusi. Materi yang dibahas pun tak lagi sebatas isi al-Quran dan ilmu syariah tetapi meluas ke berbagai disiplin ilmu seperti bahasa dan sastra, kedokteran, matematika, astronomi, kimia, sejarah, geografi, bahkan musik.
Sejak itu aktivitas di Masjid al-Qarawiyyun berkembang dari diskusi informal menjadi kegiatan keilmuan. Kurikulum yang diajarkan sempurna, mengingat murid-muridnya berasal dari seluruh dunia dan tak semuanya Muslim. Pada awalnya mereka diharuskan mempelajari seluruh isi al-Quran dan menguasai bahasa Arab sebelum belajar ilmu-ilmu umum. Apapun agamanya mereka mengikuti sistim yang sama.
Apa di antara keistimewaan madrasah ini? Bahwa, semua murid dibebaskan dari biaya pendidikan. Selama berabad-abad, sekalipun penguasa silih berganti, mereka selalu menjamin keberlangsungan pendidikan di tempat ini (h 25). Bahwa, Jami’ah al-Qarawiyyun atau Universitas al-Qarawiyyun adalah institusi pendidikan pertama yang menawarkan gelar kesarjanaan (h 23-24).
Istimewa di Al-Azhar
Al-Azhar, Tradisi Keilmuan yang Terjaga, demikian judul di halama 27. Lalu, inilah pemandangan yang khas: “Masjid al-Azhar satu-satunya masjid dengan deretan rak buku yang ada di dalamnya tidak hanya berisi al-Qur’an, tetapi juga beratus buku dan kitab-kitab lainnya. Semua orang menunggu datangnya waktu shalat dengan membaca buku, tidak ada yang ngobrol dan apa lagi melakukakan hal yang sia-sia.
Ruang shalat di dalam Masjid al-Azhar tak seberapa luas jika dibandingkan dengan masjid-masjid bersejarah seperti yang pernah dikunjugi oleh si penulis. Atapnya tak terlalu tinggi, pilar-pilar penyangganya terlihat sederhana tanpa ornamen yang rumit. Secara keseluruhan, masjid seluas 7.800 m2 itu terlihat sederhana (h 31).
Hanya saja, saat si penulis melihat mihrab tempat imam memimpin shalat, tiba-tiba hati dia tergetar. Dia spontan ingat Shalahuddin al-Ayyubi. “Barangkali di tempat itu dulu Sang Pahlawan Shalahuddin al-Ayyubi pernah membenamkan rukuk dan sujud panjangnya sebelum memimpin pasukan membebaskan Baitul Maqdis,” aku si penulis (h 31).
Tak hanya itu! Saat menyaksikan suasana halaqah (belajar bersama dalam sebuah lingkaran kecil bersama seorang guru), si penulis lalu ingat Imam Suyuthi (ahli hadits) dan Ibnu Khaldun (penulis Kitab Muqaddimah). Dia pun menulis: “Seperti inikah dulu halaqah Imam Suyuthi?” Lalu, “Mungkinkah Imam Ibnu Khaldun pernah duduk di tempat saya duduk ini saat memimpin majelisnya yang selalu dipenuhi murid-muridnya?” (h 33).
Berkah di Palestina
Kita ke Palestina, ziarah ke Madrasah di Tanah Berkah (h 37). Bahwa, “Di tempat yang diberkahi ini Imam Al-Ghazali mengajar murid-muridnya sambil menyelesaikan kitab masyhurnya, Ihya Ulumiddin”. Di mana itu lokasinya?
Ada area seluas 150.000 m2, namanya kompleks Haram al-Syarif. Selama berabad-abad seluruh kompleks ini disebut Masjid al-Aqhsa. Baru sekitar abad ke-16 pada masa Daulah Usmani, kompleks ini disebut Haram al-Syarif (artinya, Tempat Suci yang Mulia). Di dalam kompleks ini terdapat beberapa bangunan penting seperti Masjid Qubbah ash-Shahrah (Dome of Rock) yang berwarna keemasan, yang menaungi batu yang dipercaya sebagai pijakan Rasulullah Saw saat Mi’raj. Ada lagi masjid yang dibangun Umar bin Khaththab Ra yang kubahnya hijau keabu-abuan. Masih di Haram al-Syarif, ada Masjid Buraq (h 40-42).
Di Haram al-Syarif terdapat banyak madrasah, salah satunya sangat beken yaitu Madrasah Ghazaliyah. Madrasah ini didirikan dan diasuh oleh Imam Ghazali yang lahir pada 1058 dan wafat pada 1111.
Cordoba nan Menawan
Sekarang, kita nikmati “Cahaya di Langit Cordoba”. Bahwa, ketika baru ada dua belas bangsawan atau tokoh agama di Eropa yang bisa menulis namanya, saat itu anak petani paling miskin di Andalusia sudah bisa membaca dan menulis dengan lancar. Tak ada satupun penduduk Cordoba yang buta aksara (h 45).
Menyusuri lorong-lorong tua di kota Cordoba membuat si penulis serasa terlempar ke masa kejayaan Islam. Seperti kota-kota di Eropa pada umumnya, banyak sekali patung tokoh-tokoh terkemuka di jalan-jalan utama. Selain fungsi estetika, juga sebagai bentuk penghormatan atas jasa-jasa mereka.
Hal yang menarik, patung-patung itu berwajah Arab, memakai gamis, serban, serta membawa kitab. Di antara yang tampak, patung Ibnu Rusyd.
Sampailah si penulis di Masjid Agung Cordoba, titik sentral peradaban. Dari masjid ini segala hal hebat berawal. Masjid ini berfungsi sebagaimana Masjid Nabawi di Madinah yang dicontohkan Rasulullah SAW.
Di situ, masjid menjadi pusat aktivitas umat, tak hanya untuk shalat lima waktu tetapi juga bermusyawarah memecahkan masalah-masalah sosial bahkan kenegaraan. Di situ, tempat para ahli mengajarkan ilmunya. Temuan-temuan hebat yang melompati zamannya berawal dari masjid ini (h 51).
Kota Cordoba pada masanya lebih dahsyat dari kota kosmopolitan hari-hari ini. Setidaknya ada 3.837 masjid, 70 perpustakaan, 50 Rumah Sakit, 900 pemandian umum, 80.455 pertokoan, 213.077 rumah rakyat, dan-ini yang penting-madrasah yang tak terhitung jumlahnya.
Tak terhitung? Bayangkan, seandainya tiap masjid juga difungsikan sebagai madrasah maka ada ribuan madrasah memenuhi kota. Pada malam hari, lentera-lentera akan dinyalakan untuk para penuntut ilmu. Saat itu Cordoba tak hanya bermandikan cahaya dalam arti sesungguhnya, tetapi juga bermandikan cahaya hidayah dan pengetahuan.
Dari Cordoba lahir banyak pemikir yang belum tertandingi hingga kini. Sekadar menyebut, ada Abul Qasim Khalaf bin Abbas az-Zahrawi (930-1013). Di Barat dia dikenal dengan Abulcasis. Dari dirinya, lebih dari 200 alat bedah tercipta. Beberapa di antaranya masih digunakan hingga kini, seperti benang dari usus kambing atau kucing untuk menutup luka atau pascabedah. Hal lain, lebih dari 1000 tahun lalu, dia telah mampu menghentikan pendarahan saat operasi pembedahan kepala manusia.
Ada lagi, Abu Abdullah Muhammad al-Idrisi al-Qurthubi (1100-1165). Populer dengan nama al-Idrisi, peta buatannya menjadi rujukan Christopher Columbus dan Vasco da Gama sebelum melakukan pelayarannya untuk menemukan dunia baru (h 52-53).
Terapi di Turki
Kita ke Turki, ke “Madrasah Kedokteran di Kampung Halaman Al-Fatih”. Bahwa, di saat Barat masih menganggap penderita gangguan jiwa adalah penyihir yang harus dibakar hidup-hidup, di Edirne – Turki telah berdiri madrasah kedokteran sekaligus Rumah Sakit yang mempunyai unit khusus untuk penderita gangguan jiwa (h 55).
Saat masuk ke unit khusus untuk pasien dengan gangguan jiwa, terlihat diorama orang berambut acak-acakan untuk menggambarkan penderita sakit jiwa yang sedang diterapi. Dari ruangan ini samar-samar terdengar musik al-Farabi yang mengalun lembut. Suasana terasa relaks dan tenang. Di sudut-sudut ruangan ditempatkan semacam aromatherapy yang wanginya menenangkan (h 60).
Takjub di Samarkand
Ingin rasanya, kata si penulis, “Saya masuk ke dalam mesin waktu dan kembali ke masa itu menyaksikan sendiri di Registan Square yang bercengkerama dengan para penuntut ilmu” (h 75). Registan Square, di manakah itu?
Registan Square ada di Kota Samarkand. Wilayah ini merupakan jalur penting di sepanjang rute kuno Jalur Sutra. Para pedagang dari Timur dan Barat membawa komoditas berbagai rupa untuk diperdagangkan di pasar-pasar internasional.
Di Registan Square ada sejumlah madrasah, salah satunya adalah Madrasah Ulugh Beg. Nama madrasah ini dinisbahkan kepada nama sang pendiri (lahir 1447 dan wafat 1449). Dia raja yang sangat mencintai ilmu dan ahli matematika. Di masanya dibangun observatorium, termegah sepanjang sejarah peradaban Islam.
Terpesona di Bukhara
“Bukhara, Mercusuar Peradaban” (h 79). Bukhara adalah mercusuar ilmu pengetahuan dari Timur. Dari sini lahir Imam Bukhari.
Di salah satu bagian Bukhara terlihat sebuah bangunan megah, mirip istana. Tapi, itu bukan istana. Bangunan itu madrasah, namanya Madrasah Mir-i-Arab. Madrasah ini didirikan pada 1535 dan sampai sekarang masih difungsikan sebagai madrasah. Meski megah, ternyata Madrasah Mir-i-Arab masih kalah megah dengan Madrasah Kukeldash (h 81).
Secara resmi Kota Bukhara sudah ada sejak tahun 500 SM di wilayah yang kini disebut Arq. Ada yang menyebut bahwa Bukhara berasal dari bahasa Mongol yakni bukhar yang berarti lautan ilmu (h 83).
Patut dan Perlu
Sebagai karya, tetap ada yang perlu diperbaiki dari buku ini. Misal, “bahasa koran” belum diubah menjadi “bahasa buku”. Lihatlah, kapankah itu terjadi ketika ada kalimat-kalimat seperti berikut ini: “Empat tahun lalu” (h 28), “Sore itu saya seperti menyaksikan keriuhan Cordoba” (h 54), “Hari ini saya, Lambang, dan Sanjar mengunjunginya” (h. 101).
Editing juga, kurang cermat. Terdapat banyak paragraf panjang yang bisa dipecah menjadi dua atau tiga paragraf. Lihat, di (h 42, 46-47, dan h 60). Juga, di beberapa halaman lain. Ada pula foto tanpa keterangan. Misal, di h 24, 40, dan 64.
Apapun, buku ini sangat bermanafaat dan menarik. Bermanfaat karena bisa menjadi rujukan bagi siapapun. Menarik karena narasi disajikan bersama banyak foto pendukung yang semuanya full colour. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni