PWMU.CO – Haedar Nashir: negara jangan diatur menjadi sekuler dan liberal, tapi juga jangan jadikan negara agama. Dalam konteks Peta Jalan Pendidikan, tidak boleh menegasikan agama. Demikian pernyataan Ketua Umum PP Muhammadiyah Prof Dr Haedar Nashir MSi dalam peluncuran Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Pendidikan Dasar dan Menengah Muhammadiyah, pangkalan data, dan batik nasional Dikdasmen.
Peran Besar Agama
Haedar Nashir menyatakan, Indonesia dibangun di atas kekuatan agama yang hidup. Sebagai wujud pengakuan legal negara atas keberadaan agama, maka keluar pasal 29 UUD 1945.
Dalam pasal itu disebutkan, “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa dan Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.”
Haedar menegaskan, dalam perubahan zaman dan peta jalan pendidikan maupun bangsa, tidak boleh menegasikan agama. Apalagi membangun orientasi kebangsaan yang berdasarkan prinsip liberal-sekuler. Karena secara Konstitusional, agama diakui dan memperoleh kekuatan imperatif dari negara.
Dalam sejarah, agama punya peran besar dalam perjuangan kemerdekaan. Tanpa kekuatan agama—Islam maupun lainnya—mungkin perjuangan Indonesia berat. “Karena agama melahirkan spirit perjuangan, agama hidup dan menjadi pilar bangsa,” tambahnya.
Pandangan Bias Agama
Bagi yang punya pandangan bias tentang agama dan umat beragama, menurut Haedar, dua kemungkinan terjadi. Pertama, tidak paham sejarah dan konstitusi dasar. Dua, ada paham liberal-sekuler yang masuk bersama proses demokratisasi.
Paham itu murni atas nama demokrasi Barat, mengadopsi penuh nilai-nilai sekuler-liberal sehingga terjadi bias agama, tapi mengabsolutkan pandangannya. Kemudian berdiri komnas-komnas yang membawa nilai-nilai liberal-sekuler yang sekarang masuk dunia pendidikan. “Itu dasarnya paham humanisme sekuler dan atas nama universalisme Barat masuk,” ungkapnya.
Pancasila tidak membenarkan paham sekuler dan ideologi yang bertentangan dengan sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Haedar pun mengutip pidato Bung Karno, “Bukan hanya bangsa Indonesia yang harus ber-Tuhan, bahkan negara harus ber-Tuhan!”
Artinya, negara jangan diatur menjadi sekuler dan liberal, tapi juga jangan jadikan negara agama. “Ada tawasuth di antara dua kutub ekstrem itu,” tuturnya, Rabu (10/11/2021) di Aula PP Muhammadiyah Kantor Yogyakarta.
Menurut Haedar, sosok yang bergerak di dunia pendidikan perlu memahami ini agar tidak salah mempersepsi, memposisikan, dan memerankan agama di dunia pendidikan. Terlebih, setelah amandemen pasal 31, posisi nilai-nilai agama sangat jelas.
Dasar Posisi di Konstitusi
Pada ayat 3 disebutkan, “Pemerintah wajib menyelenggarakan sistem pendidikan nasional yang berdasarkan keimanan, ketakwaan, akhlak mulia, dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.”
Kemudian di ayat 5, nilai agama juga disebutkan. “Memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan berdasarkan nilai agama dan persatuan Indonesia untuk kemajuan peradaban bangsa dan kesejahteraan umum.”
Haedar menyimpulkan, bukan hanya iman, takwa, akhlak mulia, dan nilai agama harus masuk di setiap kebijakan; tapi tidak boleh ada rumusan kebijakan di lembaga pendidikan mana pun yang membawa nilai-nilai unsur yang bertentangan dengan nilai agama.
“Ini bukan soal Muhammadiyah (kelompok agama) dan negara, tapi ini soal konstitusi!” tegasnya.
Maka dia berharap para pemimpin birokrasi pendidikan—dari pusat sampai daerah—memahami sejarah dan konstitusi agar sejalan dalam merumuskan kebijakan. Harapannya, juga tidak menimbulkan kontroversi.
“Kalau kontroversi meluas, jangan percaya diri kita benar sementara yang mengkritik salah, lalu mencari pihak-pihak yang mendukung kita!” imbuh Haedar.
Haedar menegaskan, bukan hanya perlu kerendahan hati para birokrat yang mengelola birokrasi, tapi juga kembali melihat dan merujuk setiap kebijakan pada sejarah dan Konstitusi dasar. Kata Haedar, “Perbedaan bisa didialogkan asal pondasinya jelas.”
Fokus Tingkatan Kualitas SDM
Ke depan, Haedar mengimbau dunia pendidikan harus fokus meningkatkan kualitas sumber daya insani (SDM) dengan visi misi pendidikan. “Karena kita masih urutan ke 6 dan 7 dalam hal tingkat daya saing dan human development index sebagai indikator kemajuan SDM,” terangnya.
Bagaimana mungkin negara besar Indonesia—dengan potensi sumber daya insani yang bagus, bahkan banyak memenangkan perlombaan—tapi tingkat daya saing dan human development index nya masih di bawah Singapura, Thailand, Malaysia, Vietnam, Filipina, dan Brunei Darussalam.
“Birokrasi harus memahami bagaimana mengelola institusi, bukan semata-mata mengejar target yang terlalu jauh. Muhammadiyah berpijak pada pola pikir rasional, objektif, dan realistis, tapi jelas tujuannya!” kata Haedar Nashir.
Haedar Nashir menekankan, di situlah posisi RPJP. “Kami ingin menghadirkan lembaga pendidikan yang unggul!” ucapnya.
Dalam perjalanannya, lanjut Haedar, Muhammadiyah sangat fokus pada pendidikan kaum kecil sampai di pelosok-pelosok. Sampai lupa membangun sekolah yang elit. “Yang mahal itu jangankan dari luar, dari dalam sudah diributin. Padahal kalau mendirikan sekolah mahal juga menghidupi yang kecil,” kata Haedar.
Haedar percaya Majelis Dikdasmen punya etos, energi, kolektivitas yang bagus. Terakhir, dia menyemangati, “Teruslah menerjemahkan RPJP ini menjadi langkah operasional. RPJP manajemen strategis tapi aplikasinya manajemen operasional. Di situlah tugas para pimpinan sekolah! Selamat atas RPJP ini dan selamat atas batiknya yang bagus!” (*)
Penulis Sayyidah Nuriyah Editor Mohammad Nurfatoni