Teladan Cinta Indonesia Seorang AR Baswedan Oleh M. Anwar Djaelani, aktivis dan penulis buku.
- Judul buku: A.R:. Baswedan; Saya Muslim, Saya Nasionalis
- Penyusun Lukman Hakiem dan Hadi Nur Ramadhan
- Penerbit: Pustaka al-Kautsar Jakarta
- Terbit: Oktober 2021
- Tebal: xxxv + 196 halaman
PWMU.CO – Dia, AR Baswedan memang keturunan Arab. Tapi, jangan pernah meragukan nasionalismenya. Dia jurnalis komplet, yang dengan keahliannya turut memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dan lalu ikut pula mengisi pembangunannya.
Dia terbukti sebagai pejuang-pemberani, yang pada 1947 dengan “aksi”-nya yang mendebarkan dapat membawa pulang dengan selamat dari Kairo, dokumen pengakuan atas kedaulatan Republik Indonesia yang baru berdiri. Tak mengherankan—ditambah berbagai jasa lainnya kepada republik ini—AR Baswedan dianugerahi gelar Pahlawan Nasional.
Aktivis dan Agamis
Nama lengkap sang tokoh, yang menjadi bahasan buku ini, Abdul Rahman Awad Baswedan. Lalu, populer disebut sebagai AR Baswedan.
Dia lahir di Ampel, Surabaya, pada 11 September 1908. Kawasan tempat lahirnya dikenal sebagai kawasan santri. Di antara pendidikan formalnya, pernah belajar di Madrasah Al-Irsyad Jakarta pimpinan Surkati Al-Anshari.
Ketika muda, di bidang sosial-keagamaan, AR Baswedan pernah aktif di Al-Irsyad dan di Muhammadiyah. Untuk organisasi yang disebut terakhir, dia aktif sebagi pendakwah terutama saat Muhammadiyah dipimpin KH Mas Mansur.
Hal lain, di usia sekitar 70 tahun dia masih aktif di dunia dakwah dengan menjadi Ketua Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia (DDII) Yogyakarta yaitu pada 1974.
Gerak dan Penghargaan
AR Baswedan aktif di Jong Islamieten Bond (organisasi pergerakan yang didirikan pada 1925). Dia pendiri Partai Arab Indonesia, pada 1934. Lalu, pada 1945, diaterpilih sebagai salah seorang anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) mewakili peranakan Arab.
Akhir 1945, AR Baswedan aktif sebagai anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Kemudian pada 1946 sebagai Menteri Muda Penerangan dalam kabinet Sutan Syahrir.
Pada 1947 menjadi anggota misi diplomatik Republik Indonesia pimpinan Haji Agus Salim ke Kairo untuk memperjuangkan pengakuan kedaulatan nasional atas Negara Republik Indonesia.
Catatan lain, dia menjadi anggota Konstituante hasil pemilihan umum 1955. AR Baswedan anggota pimpinan Partai Masyumi sampai tahun 1960.
Atas berbagai sumbangsih AR Baswedan bagi negeri ini, Pemerintah lalu memberikan penghargaan dan tanda jasa. Pada 1970 AR Baswedan mendapat pengakuan sebagai Perintis Kemerdekaan.
Pada 1992, sebagai salah seorang founding fathers dan anggota BPUPKI, A.R. Baswedan dianugerahi Bintang Mahaputera Utama. Pada 2013, dia mendapat penghargaan Bintang Mahaputra Adipradana. Terakhir, pada 2018, pejuang gagah berani ini dikukuhkan sebagai Pahlawan Nasional (h 174).
Tiga Hobi
AR Baswedan sangat menyukai jurnalistik. Tentang ini, kita ikuti kesaksian Ahmad Samhari Baswedan. Dia salah seorang putra AR Baswedan dan berprofesi sebagai dokter. Bahwa, kata dia, ada tiga hobi sang ayah yaitu membaca, berdiskusi, dan menulis.
Berdiskusi dan menulis, menurut AR Baswedan adalah dua cara berkomunikasi. Gunanya, untuk mengutarakan gagasan atau pemikiran kita dan meminta pihak lain mengkaji dan memberikan masukan. Implikasinya, gagasan kita menjadi lebih kaya dan sempurna.
Masih kata AR Baswedan, menulis adalah cara yang paling baik dalam menyampaikan gagasan. Alasan dia, karena pada saat menulis kita bisa mengoreksi lagi tulisan itu sebelum disampaikan atau dikirim ke orang lain. Jadi, gagasan atau pikiran yang akhirnya dikeluarkan lebih sempurna (h vii).
Terkait nilai penting aktivitas berdiskusi dan menulis, wajar jika di antara cita-cita AR Baswedan adalah menjadi jurnalis. Baginya, jurnalis itu berposisi untuk menulis apa yang terjadi dan memberikan pemikirannya atas hasil “bacaan”-nya itu (h vii-viii).
Jurnalis dengan Pergaulan Luas
Pada 1932-1933 di bidang jurnalistik, di antara yang terkenal adalah surat kabar Sin Tit Po. Pemimpin redaksinya, Liem Koen Hian.
Alkisah, AR Baswedan menemui dan berkenalan dengan sang pemimpin redaksi, yang dari namanya kita tahu dari etnis mana dia. Pertemuan berlangsung hangat dan AR Baswedan yang memang sudah dikenal suka menulis, ditawari untuk bergabung dengan Sin Tit Po.
Tawaran simpatik itu diterima AR Baswedan. Bekerjalah dia sepenuh semangat di media itu sebab tak hanya sebagai wartawan tapi langsung masuk di jajaran redaksi Sin Tit Po. Tak hanya itu, dia digaji lumayan besar. Padahal andai sekadar diterima sebagai penulis lepas saja atau tidak digaji sama sekali, dia sudah senang. Mengapa?
AR Baswedan sudah bahagia dengan menjadi bagian dari sebuah harian besar bernama Sin Tit Po. Dia suka karena bisa duduk di dekat Liem Koen Hian si jurnalis ulung, untuk belajar jurnalistik. (h 4).
PAI dan Dua Respon
Pada 1931 umumnya orangtua sudah putus asa. Patah dan penat. Lemah merasa tidak ada gunanya bergerak. Di sana-sini orang cuma berada dalam gerakan onderwijs (pendidikan) dengan harapan seperempat abad lagi anaknya akan bisa bergerak (h 36). Meski situasinya seperti itu, serba apatis, Partai Arab Indonesia (PAI) dia dirikan pada 1934 sekaligus menjadi ketuanya.
Bagaimana respon sekitar? Di dalam kalangan keturunan Arab, PAI tidak berhenti dirintangi. Sebaliknya, dari pihak saudara-saudara Indonesia dan pergerakannya, PAI mendapat sambutan dan dorongan sedemikian rupa PAI tidak merasa sendiri (h 37).
Aksi dan Sepatu
Mari ikuti, tahun-tahun pertama setelah Indonesia merdeka, terutama di tahun 1947. Bacalah “Catatan dan Kenangan Misi Diplomatik Republik Indonesia di Mesir” (h 61).
Anggota misi itu adalah Haji Agus Salim (Ketua Delegasi), Nazir St Pamuntjak, HM Rasyidi, dan AR Baswedan. Misinya, mendapatkan pengakuan atas kedaulatan Republik Indonesia yang baru berdiri.
Membaca bagian ini ada rasa haru, betapa empat anggota misi diplomatik itu tampil sangat bersahaja. Busana yang dikenakan, tetap seperti “baju keseharian khas pejuang”. Alas kakinya, lusuh. Tas dan kopernya, kadang kuncinya macet saat akan dibuka.
Membaca bagian ini, terbit rasa heroisme. Bahwa dengan “modal” sangat terbatas, mereka percaya diri mengemban misi diplomatik itu. Bahwa dengan “resiko pekerjaan“ yang bisa timbul (semisal ditangkap atau dibunuh), mereka tak gentar.
Untuk waktu yang lama empat pejuang pembawa misi diplomatik itu ada di Mesir. Tanggal 10 April 1947 tiba di Kairo dan baru 10 Juni 1947 bisa mendapatkan apa yang menjadi misi diplomatik itu.
Pekerjaan berat berikutnya adalah membawa pulang dengan selamat sampai di Indonesia dokumen-dokumen penting itu. Penting, sebab isinya berupa pengakuan atas kedaulatan Indonesia dari beberapa negara Arab.
Pada 18 Juni 1947 pesawat siap terbang dari Kairo menuju Singapura untuk membawa AR Baswedan. “Baswedan, bagi saya tidaklah penting, apakah Saudara sampai di Tanah Air atau tidak. (Hal) yang penting, dokumen-dokumen itu sampai di Indonesia dengan selamat,” demikian petunjuk Agus Salim kepada AR Baswedan.
Adapun dokumen-dokumen yang akan dibawa AR Baswedan antara lain dari Raja Mesir Farouq dan dari Mufti Besar Palestina Amin Al-Husaini (h 75).
Uang menipis, Indonesia belum dikenal. Setelah berkali-kali transit di sejumlah kota, akhirnya pesawat sampai di Singapura. Di kota ini perlu beberapa hari untuk mendapat tiket pesawat ke Jakarta dan itupun dibantu dua dermawan di Singapura. Mereka adalah Ibrahim Assegaf dan Ali Talib Yamani. Keduanya membantu karena bersimpati kepada perjuangan Indonesia.
Dengan siasat, kesabaran, dan keberanian, AR Baswedan—sang pemegang amanah—berhasil terbang dari Singapura ke Jakarta pada 13 Juli 1947. Lebih dari itu dia bisa “menyelundupkan” dokumen-dokumen penting di sepatunya. Padahal, Bandara Kemayoran, Jakarta ketika itu dijaga ketat oleh Polisi Militer.
Entah bagaimana, barang bawaan AR Baswedan seperti tas kantor dan koper lolos dari pemeriksaan. Petugas itu seperti sedang buta ketika A.R. Baswedan lewat di depannya (h 76-77).
Beberapa hari kemudian, pada 19 Juli 1947 saat dokumen-dokumen itu diserahkan dalam sebuah rapat kabinet di Yogyakarta, Presiden Sukarno terheran-heran dan bertanya: “Bagaimana kok bisa begitu, Saudara Baswedan?” Orang yang ditanya hanya menjawab pendek: “Untung!” (h 77).
Bermanfaat dan Lengkap
Buku ini menarik, berisi kumpulan tulisan dan percikan pemikiran AR Baswedan. Kesemuanya, tulisan dan hasil wawancara yang terkumpul dalam buku ini, berkisar antara tahun 1939 hingga 1986.
Nilai lebih yang lain adalah sepasang penulisnya. Pertama, Lukman Hakiem. Dia aktivis, peminat sejarah, aktif menulis artikel dan buku serta kenal secara pribadi dengan AR Baswedan.
Kedua, Hadi Nur Ramadhan. Dia aktivis, dosen, aktif menulis artikel dan buku, serta pendiri sekaligus Ketua Yayasan Pusat Dokumentasi Islam Indonesia Tamaddun.
Lewat buku ini, sangat banyak yang harus kita ingat dan pelajari dari seorang AR Baswedan. Misal, pidato dia di rapat BPUPKI pada 11 Juli 1945: “Saya sendiri mempunyai pendirian, yang saya harapkan bisa dipahami oleh Tuan-Tuan, bahwa agama Islam berpaham begitu.
Itulah perasaan saya. Saya sendiri mempunyai pendirian sebagai seorang nasionalis Indonesia. Apa sebabnya? Sebab saya seorang Islam. Sebab saya seorang Islam, maka saya seorang nasionalis-Indonesia. Itu disebabkan oleh pelajaran Islam dan riwayat sejarah,” demikian petikan pidato itu, bagian dari tulisan berjudul: “Semua Golongan Arab Minta Dimasukkan Menjadi Rakyat Indonesia” (h 48-54).
Bacalah pula, “Siapa yang sebenarnya musuh Pancasila”. Tulisan itu dibuat AR Baswedan dan dimuat media bernama Hikmah di edisi 5 Juni 1954 (h 112). Tulisan itu dibuat untuk merespon perkembangan situasi terkini pada waktu itu.
Bahwa di suasana menjelang Pemilu 1955, sering terdengar ucapan-ucapan bernada tuduhan terhadap gerakan Islam. Dengan sindiran atau terang-terangan, intinya “pihak seberang” menyoal kesetiaan gerakan-gerakan Islam terhadap Pancasila.
Terkait hal itu, di tulisan yang judulnya telah disebut di atas, menulislah AR Baswedan: “Kita duga tuduhan-tuduhan demikian masih akan terdengar terus, justru dari mereka yang pada hakikatnya memeluk paham dan cita-cita yang mustahil dapat disesuaikan dengan prinsip-prinsip Pancasila.
Paham-paham yang sebenarnya mengancam prinsip-prinsip Pancasila, terutama dari pihak yang apriori tidak mungkin bisa menerima sila pertama, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa!”Jika kita cermati, tulisan A.R. Baswedan di atas sangat relevan dibaca kapan saja. Hal ini karena ternyata, usaha membentur-benturkan umat Islam dengan Pancasila seperti tak pernah berhenti.
Buku Komplet
Nilai lebih lain, buku ini dilengkapi foto-foto AR Baswedan dalam berbagai kesempatan. Misal, foto AR Baswedan di berbagai usia. Juga, foto bersama pengurus Partai Arab Indonesia dan foto Kongres PAI di Cirebon pada 1938. Ada pula foto bersama Haji Agus Salim dan H.M. Rasyidi saat menjalankan misi diplomatik ke Timur Tengah pada 1947.
Masih di “album foto” yaitu di halaman 179, ada yang sudah cukup dikenal masyarakat yaitu foto AR Baswedan bersama sang cucu yaitu Anies Rasyid Baswedan. Nama yang disebut terakhir sekarang adalah Gubernur DKI Jakarta. Di foto itu tampak Anies seperti masih di usia taman kanak-kanak.
Buku ini menjadi semakin berharga karena dilengkapi index (h 188-196). Ada pula lampiran profil Partai Arab Indonesia (h 166-171).
Tokoh Tak Terlupakan
AR Baswedan wafat di Jakarta pada 15 Maret 1986. Jurnalis, aktivis, pejuang, dan pahlawan itu dimakamkan di TPU Tanah Kusir Jakarta. Almarhum adalah salah satu tokoh di negeri ini yang tak akan pernah bisa kita lupakan.
Lihat saja kesaksian Adam Malik atas AR Baswedan. Sebagai Menteri Luar Negeri, pada 22 Juli 1972 Adam Malik yang juga berlatar belakang jurnalis, menulis:
“Sebagai seorang pejuang, seluruh hidupnya ia korbankan untuk kepentingan perjuangan kemerdekaan Indonesia. Ia sebagai seorang penulis dan penyair selalu melukiskan perjuangan, mengobarkan semangat perlawanan terhadap penjajah dan sebagai seorang Islam ia selalu memuja dan berdoa kepada Allah yang Maha Besar” (h163).
Memang banyak teladan di diri AR Baswedan. Teladan dalam hal taat kepada agama. Teladan di aspek kecintaan dan pembelaan kepada Indonesia. Maka, terkait hal itu, buku ini sangat layak dibaca oleh semua orang tanpa kecuali. Patut dibaca oleh segenap lapisan umur. Benar, buku ini memang mencerahkan! (*)
Editor Mohammad Nurfatoni