Keonaran di Media Massa, Kesalahan HRS Menurut MA oleh M Rizal Fadillah, Pemerhati Politik dan Kebangsaan
PWMU.CO– Akhirnya Mahkamah Agung memutus kasasi Habib Rizieq Shihab (HRS) dengan hukuman dua tahun penjara. Semula PN Jakarta Timur menghukum HRS empat tahun dengan kesalahan menyebarkan berita bohong hasil test swab dan berita bohong tersebut telah menyebabkan keonaran. Bagi Mahkamah Agung ternyata keonaran itu hanya di media massa.
”Meskipun terdakwa telah terbukti melakukan perbuatan dengan menyiarkan berita bohong akan tetapi akibat terbitnya keonaran dari perbuatan terdakwa hanya di tataran media massa. Tidak terjadi konflik jiwa/fisik atau harta benda,” kata juru bicara MA Andi Samsan Nganro. Majelis Kasasi diketuai oleh Suhadi dan anggota Suharto dan Soesilo.
Menggembirakan karena hukuman Habib Rizieq Shihab semula empat tahun berkurang menjadi 2 tahun dengan dakwaan melanggar Pasal 14 ayat (1) UU No 1 tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana juncto pasal 55 ayat (1) KUHP. Putusan PN Jakarta Timur yang diperkuat oleh Pengadilan Tinggi DKI Jakarta dinilai tidak adil sehingga HRS mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung.
Putusan MA itu pun masih menyedihkan karena alasannya bahwa perbuatan HRS menyebabkan terjadinya keonaran di media massa. Bagaimana bisa disebut keonaran pada media massa?
Apa yang dimaksud dengan keonaran? Penjelasan pasal 14 ayat (1) UU No 1 tahun 1946 menegaskan bahwa yang dimaksud dengan keonaran adalah bukan saja kegelisahan dan mengguncangkan hati jumlah penduduk yang tidak sedikit tetapi lebih jauh dari itu yakni kekacauan. Pasal 14 sama dengan Verordening No 18 Van het Militair Gezag.
Padahal faktanya, HRS tidak menyebarkan bohong, tidak ada unsur ’kesengajaan’ dan nyatanya sama sekali tidak menimbulkan kekacauan. Jika ada pro dan kontra di media massa maka itu tidak bisa masuk dalam unsur delik.
Ini rumusan yang mengada-ada dan dipaksakan. Jika ada pro dan kontra itu hal lazim saja. Lagi pula ’keramaian’ di media massa bisa merupakan buatan buzzer. Maklum kasus HRS ini sarat dengan muatan politik.
Ramainya bahasan dalam media massa bukanlah suatu keonaran. Betapa kacaunya hukum jika dimaknai demikian. Media memiliki aturan tentang hak jawab dan dugaan pelanggaran hukum di media massa dilakukan pemeriksaan awal oleh Dewan Pers.
Itupun yang menjadi terperiksa adalah media. Terhadap media elektronik ada ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Informasi (ITE).
Keonaran apa yang terjadi di media massa? Tidak ada. Pasal 14 UU No 1 tahun 1946 menegaskan keonaran itu terjadi di kalangan rakyat. Keonaran atau kekacauan itu terjadi di dunia nyata. Bahkan lazim ada korban jiwa atau fisik. Mahkamah Agung dengan putusan ini telah membuat jurisprudensi yang sangat buruk.
Kebohongan Presiden Jokowi soal Esemka, tidak impor beras, uang ribuan triliun di kantong, ekonomi meroket, KA cepat tidak menggunakan dana APBN dan banyak kebohongan lainnya yang tersebar di media massa telah menimbulkan ’keonaran’ di media massa. Jika tafsir MA terhadap HRS dibenarkan, maka Jokowi terancam delik yang sama.
Jokowi dapat diseret ke pengadilan, berbaju oranye dan diborgol, lalu dengan UU No 1 tahun 1946 hakim harus memutuskan minimal penjara 2 tahun sebagaimana jurisprudensi putusan Mahkamah Agung. Jokowi telah membuat keonaran di media massa.
HRS semestinya bebas sebagaimana bebasnya Jokowi ! (*)
Bandung, 16 November 2021
Editor Sugeng Purwanto