Muhammadiyah dan Generasi Milenial

Dokumentasu Pandu Hizbul Wathan Banyuwangi saat mengibarkan bendera merah-putih bersama panji-panji Muhammadiyah di Puncak Gunung Ijen. Muhammadiyah dan Generasi Milenial (Istimewa/PWMU.CO)

Muhammadiyah dan Generasi Milenial. Tulisan oleh Nadjib Hamid ini diangkat kembali untuk memperingati Milad Ke-109 Muhammadiyah, 18 November 1912-18 November 2021.

PWMU.CO – Persyarikatan yang didirikan KH Ahmad Dahlan di Kauman, Yogyakarta ini, diakui telah memberikan kontribusi besar bagi kemajuan bangsa dan negara. 

Tidak terhitung kader bangsa yang lahir dari rahim Muhammadiyah dan turut membidani kelahiran NKRI. Ki Bagus Hadikusumo, Jenderal Soedirman, Agus Salim, sekadar contoh untuk menyebut beberapa nama.

Maka, menjadi aneh jika belakangan ada sekelompok orang yang meragukan patriotisme dan nasionalisme Muhammadiyah. Bahkan, ormas Islam bersimbol matahari tersebut pernah dituduh sebagai anti-NKRI dan anti-Pancasila. 

Kegiatan-kegiatan Muhammadiyah di beberapa daerah juga diganggu. Pengajiannya dibubarkan dan masjidnya dibakar. Sementara itu, aparat keamanan selalu memihak kepada yang mengganggu dan membakar.

Kiai Dahlan Diancam Bunuh

Kondisi tersebut seperti mengulang peristiwa yang dialami KH Ahmad Dahlan ketika awal merintis Muhammadiyah. Dikisahkan dalam buku-buku sejarah bahwa sepulang dari kegiatan berdakwah di Banyuwangi kali pertama (1919), Kiai Dahlan menerima surat kaleng. 

Isinya berupa ancaman, ’’Apabila Kiai Dahlan berani datang lagi ke Banyuwangi, akan pulang tinggal nama.’’

Diancam begitu, Kiai Dahlan tidak gentar. Justru semangat beliau untuk datang dan mengenalkan Muhammadiyah ke Banyuwangi semakin membara. Kiai Dahlan bahkan mengajak sang istri, Nyai Siti Walidah, untuk mendampingi.

Bagi Kiai Dahlan, orang yang suka mengancam itu menandakan bahwa dirinya tidak berani alias penakut. Pemberani pasti tidak banyak omong. Dalam kajian psikologi, seorang pengecut itu umumnya kerap menutupi ketakutan dengan omong besar. Persis dengan pribadi lemah yang sering berlagak kuat dengan gertak sambal.

Ketika beliau turun dari kereta di Banyuwangi, beberapa orang polisi datang menghampiri dan memintanya untuk kembali ke Yogyakarta dengan alasan ada segerombolan orang yang mau membunuh Kiai Dahlan.

“Pak polisi ini aneh, saya yang mau mengajak kebaikan disuruh pulang. Tapi, mereka yang mau membunuh saya kok dibiarkan,’’ ujar Kiai Dahlan. Mendapat pertanyaan seperti itu, beberapa orang polisi tersebut mati gaya. Mati langkah. Akhirnya mereka membiarkan Kiai Dahlan terus berdakwah hingga yang mengancam pun masuk Muhammadiyah.

Peristiwa pengajian bersejarah itu tercatat pada 7 Januari 1922. Diselenggarakan di tengah kota, tepatnya (sekarang) di Jalan Sudirman. Hingga pengajian akbar tersebut berakhir, tidak terjadi insiden apa pun. Bahkan, pengirim surat kaleng yang kemudian hari diketahui bernama H. Muhammad Ali justru ikut menjadi anggota Muhammadiyah dan menjadi penggeraknya.

Terulang Lagi

Tantangan seperti itu terulang seabad kemudian. Akhir-akhir ini kerap ada pengajian yang dibubarkan sekelompok orang yang mengaku anggota ormas paling toleran dengan tuduhan radikal, wahabi, dan sejenisnya. 

Anehnya, aparat keamanan selalu memihak kepada mereka yang membubarkan dengan alasan tidak ingin ada korban yang lebih besar. Kasus pembubaran Daurah Tahfidzul Quran di Karimunjawa, Jepara, Jawa Tengah, (6/9/2017) adalah salah satu contohnya. Mereka beralasan, gedung yang digunakan belum ber-IMB (izin mendirikan bangunan). Sebuah alasan yang mengada-ada dan dibela aparat.

Padahal, ini negara hukum dan kegiatan keagamaan maupun kegiatan yang lain dalam masyarakat mendapat jaminan konstitusional. Kebebasan beragama adalah hak konstitusional warga negara sebagaimana termaktub dalam pasal 28E ayat (1) dan 29 UUD 1945 serta pasal 22 UU 39/1999 tentang HAM. 

Sementara itu, hak atas rasa aman adalah hak konstitusional warga negara sebagaimana tercantum dalam pasal 28G UUD 1945 dan pasal 9 ayat (2) UU 39/1999 tentang HAM.

Bagi Muhammadiyah, tantangan dakwah tersebut sama sekali tidak menyurutkan langkah para aktivisnya untuk terus mencerahkan masyarakat. Justru semakin diserang, mereka semakin solid dan bersemangat dalam berdakwah sembari terus berupaya untuk meningkatkan dialog guna mengurangi kesalahpahaman yang tidak perlu.

Muhammadiyah tidak memandang mereka sebagai musuh. Sebaliknya yang perlu dihadapi bersama secara serius adalah ketidakadilan sosial dan kesenjangan ekonomi yang menganga di tengah masyarakat yang tidak kunjung terselesaikan. Dengan demikian, jihad ekonomi menjadi keniscayaan.

Muhammadiyah dan Generasi Milenial

Tantangan berat lainnya adalah bagaimana ormas Islam yang sudah berusia seabad lebih ini mampu membangun militansi keberagamaan yang lurus di lingkungan generasi milenial. Yakni, anak-anak muda yang saat ini berusia 15-35 tahun, yang gandrung dengan internet. Mengingat rata-rata mereka menghabiskan sebagian besar waktunya di depan layar perangkat mobile, menonton video secara daring.

Teknologi juga membuat para generasi internet tersebut mengandalkan media sosial sebagai tempat mendapatkan informasi. Dan, sebagai orang ua tidak bisa hanya marah-marah kepada generasi muda yang tidak bisa lepas dari gadget. 

Justru Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah ditantang untuk bisa memanfaatkan pergeseran perilaku para generasi internet tersebut untuk efektivitas dakwah. 

Dengan demikian, jihad digital juga harus dilakukan agar dakwah tidak hanya dilaksanakan secara konvensional, tetapi juga online melalui dunia maya. (*)

*) Tulisan ini diambil dari buku berjudul Muhammadiyah Era Milenial karya almarhum Nadjib Hamid, yang diterbitkan Hikmah Press, Surabaya, Mei 2018. 

Bagi yang berminat membeli buku tersebut—dan buku-buku terbitan Hikmah Press laiannya—bisa menghubungi Anifatul Asfiyah di WA 0811-3342-663. (*)

Editor Mohammad Nurfatoni

Exit mobile version