PWMU.CO– Izin pendirian Muhammadiyah ternyata pernah ditolak pemerintah. Padahal surat permohonan itu sudah melewati birokrasi panjang.
KH Ahmad Dahlan saat berusia 44 tahun mendirikan Muhammadiyah yang bergerak bidang pendidikan dan sosial. Surat pengajuan izin organisasi dan proposalnya dikirimkan kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Batavia.
Surat itu lantas didisposisi kepada Residen Yogyakarta. Dari residen didisposisi ke Sri Sultan untuk meminta pertimbangan raja.
Sri Sultan meneruskan surat itu kepada Rijksbestuur der Yogyakarta untuk dikaji. Riksbestuur menurunkan surat itu kepada Hoofdpenghulu Kraton yaitu Kiai Cholil Kamaluddiningrat.
Hoofdpenghulu diminta memberikan penilaian terhadap proposal organisasi ini dan para pengurusnya. Setelah membaca proposal itu, Hoofdpenghulu Kiai Cholil ternyata mengeluarkan pendapat menolak surat permohonan izin pendirian Muhammadiyah.
Usut punya usut ternyata alasan Hoofdpenghulu Kiai Cholil menolak permohonan karena penggunaan istilah jabatan Presiden Muhammadiyah yang tercantum dalam proposal.
Kiai Cholil mengatakan,”Bagaimana mungkin menyetujui Ahmad Dahlan hendak menjadi Residen yang lebih berkuasa dibandingkan Sri Sultan. Residen hanya ada satu di Yogyakarta ini.”
Anggota penghulu lainnya seperti Khatib Anom Kiai Sangidu maupun Kiai Ahmad Dahlan lalu menjelaskan salah paham ini. Bahwa istilah presiden yang dipakai Muhammadiyah beda dengan residen dalam struktur penguasa wilayah pemerintah kolonial yang dipegang orang Belanda.
Kekuasaan dan kewenangan Ahmad Dahlan sebagai Presiden Muhammadiyah tidak sama dengan Residen Yogyakarta. Setelah dijelaskan Kanjeng Kiai Penghulu pun paham. Maka rekomendasi persetujuan pendirian organisasi keluar.
Rekomendasi persetujuan Hoofdpenghulu dinaikkan lagi sesuai urutan birokrasinya hingga ke tangan Sri Sultan Yogyakarta. Setelah beberapa bulan Sri Sultan baru menerbitkan surat izin pendirian Muhammadiyah pada tanggal 18 November 1912 bertepatan dengan 10 Dzulhijjah 1330 Hijriyah.
Belum cukup sampai di situ. Setelah izin pendirian organisasi keluar harus mendaftarkan lagi Muhammadiyah sebagai badan hukum ke pemerintah kolonial Hindia Belanda.
Sebulan kemudian pada 20 Desember 1912 KH Ahmad Dahlan mengurus izin badan hukum. Urusan ini prosesnya sangat lama dan sulit. Perlu lobi beberapa aktivis yang kenal dan paham dengan urusan birokrasi.
Kiai Dahlan mendatangi pengurus Boedi Oetomo Yogya Raden Mas Boedihardjo dan Raden Dwidjosewojo. Keduanya menyarankan Kiai Dahlan masuk Boedi Oetomo (BO) dulu dengan membentuk ranting organisasi yang disebut Kring Boedi Oetomo Kauman.
Maka Kiai Dahlan bersama enam orang pimpinan Muhammadiyah mendirikan BO Kauman. Enam aktivis muda itu RH Sjarkawi, H Abdoelgani, H Sjuja’, H Hisjam, H Fachrodin, dan H Tamimuddari.
Ternyata perlu waktu dua tahun status badan hukum baru keluar yaitu pada tanggal 22 Agustus 1914. Itu pun Persyarikatan Muhammadiyah hanya sebagai organisasi lokal daerah Yogyakarta. Pemerintah kolonial melarang organisasi bersifat nasional.
Milad Muhammadiyah yang diperingati tiap 18 November berdasarkan izin pendirian organisasinya.
Penulis/Editor Sugeng Purwanto