PWMU.CO – Imam besar Istiqlal Prof Dr KH Nasaruddin Umar MA memuji pengelolaan masjid di bawah lingkungan Muhammadiyah.
Hal itu dia sampaikan pada Webinar yang digelar Majelis Lingkungan Hidup (MLH) Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah dengan tema Masjid Ramah Lingkungan (Eco-Mosque, Green Mosque dan Smart Mosque), Jumat (19/11/2021)
Nasaruddin mengaku sangat mendukung topik Webinar yang diselenggarakan oleh MLH PP Muhammadiyah ini dan berharap Pengurus PP Muhammadiyah khususnya MLH memberikan masukan untuk Masjid Istiqlal.
“Ini luar biasa. Kebetulan di Istiqlal sebenarnya saya merencanakan untuk melakukan seminar yang sama. Saya mohon masukan untuk masjid Istiqlal, masjid kita bersama. Karena saya tahu persis, bahwa pengelolaan masjid di bawah lingkungan Muhammadiyah itu sangat-sangat produktif,” katanya.
Mengawali materi, Nasaruddin mengutip Qur’an Surat (QS) Al-Isra’ ayat 1.
سُبْحَٰنَ ٱلَّذِىٓ أَسْرَىٰ بِعَبْدِهِۦ لَيْلًا مِّنَ ٱلْمَسْجِدِ ٱلْحَرَامِ إِلَى ٱلْمَسْجِدِ ٱلْأَقْصَا ٱلَّذِى بَٰرَكْنَا حَوْلَهُۥ لِنُرِيَهُۥ مِنْ ءَايَٰتِنَآ ۚ إِنَّهُۥ هُوَ ٱلسَّمِيعُ ٱلْبَصِيرُ
Artinya: “Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui” (Q.S. Al-Isra’ : 1)
Kaitan Masjid dengan kata Al-Lail
Nasaruddin mengatakan, ayat yang dia bacakan mengandung dua kata masjid (Masjidil Haram dan Masjidil Aqsha). Menurutnya, masjid itu dikaitkan dengan al-Lail yang bisa berarti malam, namun secara maknawi juga bisa berarti sejuk, damai, tenteram, khusyu, gembira dan bahagia.
“Al-lail itu juga bisa berarti sebuah keheningan, ketenangan. Jadi masjid itu sebetulnya diharapkan menyimpan ketenangan, kesyahduan, kepasrahan, dan harus menyejukkan,” ucapnya.
Dari masjid yang paling dekat maupun yang paling jauh (minal Masjidil Haram Ilal Masjidil Aqsha), menurutnya, Masjid harus alladzi baaraknaa haulahu (Allah memberkahi di sekitar masjid itu). Sehingga masjid itu harus menjanjikan berkah.
“Masjid yang ideal itu yang mampu melahirkan kesejukan, ketenangan, kesyahduan, kepasrahan, keindahan, keasrian dan juga yang paling penting adalah kekhusyuan,” ucapnya.
“Kalau masjid itu gersang, apalagi berdebu, suka ada maling sandal, itu tidak ada baaraknaa haulahu, yang ada itu musykilatun katsir haulal masjid. Padahal yang kita inginkan adalah ketenangan,” imbuh Nasaruddin.
Wakil Menteri Agama Republik Indonesia Tahun 2011-2014 ini menjelaskan, meskipun tidak ditemukan dalam hadits nabi tentang perintah menghijaukan masjid, tapi secara umum, hadits nabi itu mengatakan seandainya besok dunia ini kiamat, maka diperintahkan untuk menanam pohon.
“Salah satu hal yang perlu juga diperhatikan adalah kebersihan masjid. Kan ada hadits bahwa menodai atau mengotori masjid itu dosa. Masjid itu kan rumah tuhan, secret place, tempat yang sakral, sehingga memang harus meneduhkan dan menyejukkan, bukan gersang,” tandasnya.
Menurut Nasaruddin, masjid Rasulullah itu benar-benar ditata sedemikian rupa dan memiliki banyak fungsi definitif. Misalnya digunakan sebagai sekretariat negara, baitul mal, kantor pengadilan, rumah sakit, rumah pendidikan dan kontrol sosial.
“Urusan negara itu diurus di masjidnya nabi, baik urusan makro sampai mikro. Politik diurus di sana. Selain itu juga sebagai baitul mal, bahkan baitul mal itu bukan hanya untuk orang muslim,” tuturnya.
Menara Masjid sebagai Kontrol Sosial
Menurut Nasaruddin, menara masjid nabi itu dibuat bukan hanya untuk dipakai adzan, tapi juga untuk melihat dari ketinggian, rumah-rumah siapa yang tidak pernah berasap dapurnya dan rumah mana yang selalu berasap dapurnya.
“Lalu sahabat turun menjembatani dan bertanya kenapa dapurnya tidak berasap, mungkin tidak ada yang bisa dimasak. Jadi menara masjid itu bukan untuk gagah-gagahan, tapi untuk sosial kontrol,” tegasnya.
Ketika masjid nabi berfungsi sebagai rumah pendidikan, di situ juga diajarkan keterampilan untuk menopang ekonomi. Sehingga masjid itu menyehatkan, dari kumuh menjadi bersih, dari buta huruf menjadi melek huruf, dari buta keterampilan menjadi terampil.
“Nah tugas kita adalah bagaimana kita menciptakan masjid yang dalam perspektif Indonesia tidak lain adalah masjid sebagai sentral kegiatan umat,” katanya.
Nasaruddin mengaku memimpikan Masjid Istiqlal untuk dijadikan seperti masjid besar di Ankara Turki yang di bawahnya ada mall. Dia membayangkan, jika 800 ribu masjid di Indonesia itu mempunyai minimarket, tentu umat islam akan maju ekonominya karena bisa sambil beramal.
“Kemakmuran masjid itu bisa kita terapkan tanpa harus mengotori masjid, apalagi di era sekarang yang serba digital ini,” ujarnya.
Yang menarik, Nasaruddin menambahkan, dua laboratorium penelitian di Indonesia mengatakan, dari seluruh masjid di DKI Jakarta, Masjid Istiqlal adalah satu-satunya masjid yang zero Covid-19.
“Masjid terbesar di Asia tenggara tapi tidak ada satu ekor pun Covid-19 ditemukan. Kenapa? Karena angin dan siklusnya sangat bagus. Dua kali dilakukan penelitian tidak ada Covid. Sanitasi sangat bagus, rutin dilakukan penyemprotan dan penuh hijau-hijauan,” pungkasnya. (*)
Imam Besar Istiqlal Puji Pengelolaan Masjid Muhammadiyah; Penulis Nely Izzatul Editor Mohammad Nurfatoni