PWMU.CO– Mengenang sang Guru Bangsa Prof Dr Malik Fadjar, UMM menghadirkan sejumlah tokoh nasional untuk mengungkap pemikiran dan hasil kerjanya.
Acara ini sekaligus memperingati Hari Guru Nasional yang diikuti oleh dosen, karyawan kerabat, saksi hidup kiprah Malik Fadjar. Refleksi Hari Guru ini diadakan secara daring dan luring bertempat di Kampus Putih Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Kamis (25/11/2021).
Di acara ini juga diluncurkan tiga buku yang membahas Malik Fadjar dan lagu Ampunkanku Ya Rabbi karya warga binaan Lapas Perempuan Kota Malang.
Hadir dalam acara Mengenang sang Guru Bangsa ini Ketua Badan Pembina Harian (BPH) UMM sekaligus Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Prof Dr Muhadjir Effendy MAP.
Muhadjir menceritakan, telah mengetahui sosok Malik Fadjar sejak kelas 3 SMP. Dalam perjalanan hidupnya Malik sempat ingin pergi ke Jakarta namun diyakinkan untuk berkiprah di UMM.
”Bersama salah satu teman, kami berhasil meyakinkan Pak Malik bahwa dia bisa menjadi orang hebat meski berada di Malang, tepatnya berjuang membangun UMM,” tuturnya.
Sayangnya, sambung Muhadjir, Malik waktu itu belum memiliki kartu anggota Muhammadiyah sehingga tidak bisa mencalonkan diri menjadi rektor UMM. Muhadjir mengatakan, ia sampai bersusah payah ke Yogyakarta untuk mengurus kartu anggota itu.
”Berbagai pengalaman yang telah dilalui oleh Pak Malik menjadi pengingat bagi kita untuk terus meneladani kehumanisan dan pandangan-pandangan yang luar biasa,” tuturnya.
Sementara Wakil Rektor I UMM Prof Dr Syamsul Arifin MSi mengatakan, pada agenda ini para peserta bisa memahami pemikiran Malik. Apalagi dengan hadirnya berbagai narasumber sehingga bisa memahami dengan beragam perspektif.
Anti Titipan
Prof Dr Imam Suprayogo MSi menambahkan, kalau para peserta dan tamu ingin menjadi manusia yang sukses maka Malik Fadjar adalah sosok yang tepat jadi teladan karena telah sukses dalam aspek keluarga, perjuangan politik, dan juga dalam dunia pendidikan.
Imam menyampaikan bagaimana Malik Fadjar sangat menghargai dan menghormati istrinya. Selalu berdiskusi terkait keputusan-keputusan yang ia buat. Bahkan masalah-masalah pelik yang sedang Malik hadapi.
”Kehidupan Pak Malik yang lapang dan lancar tentu salah satunya ditopang oleh doa-doa, puasa dan juga tahajud dari Bu Malik. Tidak seperti istri Abu Lahab yang malah mengompori. Ketika Pak Malik pulang dengan kepenatan, Bu Malik hadir untuk mendinginkan,” tuturnya.
Ia juga mengenang Malik tidak suka sama sekali dengan budaya titip-menitip. Mereka yang dititipkan adalah mereka yang bermasalah. Jika orang yang bermasalah dimasukkan ke universitas, maka tinggal menunggu waktu saja menjadi perguruan tinggi yang bermasalah.
”Dulu Pak Malik juga berpesan, dosen itu memberikan cahaya. Selalu terang di berbagai aspek seperti agama, ilmu dan lainnya. Jika seorang dosen gelap, maka akan melahirkan kegelapan. Sebaliknya, jika terang, akan menghasilkan cahaya terang,” tegasnya.
Pembicara Prof Dr Siti Zuhro MA, peneliti BRIN mengungkapkan, Malik Fadjar sudah menjadi seseorang yang penting dalam dunia pendidikan.
”Semua sepak terjang Malik ketika menjadi rektor hingga menteri senantiasa memberikan teladan. Nanti mungkin bisa kita ajukan menjadi pahlawan yang concern dalam bidang pendidikan,” tuturnya.
Ia teringat tatkala Malik menghubunginya untuk mengajukan permintaan buku untuk rumah baca yang didirikan Malik. Saat ini rumah baca itulah yang menjadi inspirasi Siti untuk menggalakkan Desa Cerdas di berbagai wilayah.
Pembicara lainnya Prof Dr Setya Yuwana MA menerangkan terkait kebijakan-kebijakan yang luar biasa ketika Malik menjadi menteri. Ada tiga hal utama yang Malik inisiasi yakni otonomi pendidikan, kurikulum berbasis kompetensi, dan Human Investmen.
“Kebijakan otonomi pendidikan misalnya, yang memberikan kewenangan kepada daerah untuk mengembangkan. Pak Malik Fadjar sudah meletakkan dasar-dasar kuat bagi pendidikan di Indonesia,” ungkap Setya.
Kesan yang tak jauh berbeda disampaikan Prof Dr Franz Magnis Suseno. Bertemu sejak 30 tahun lalu, ia melihat Malik Fadjar sebagai sosok intelektual yang menyenangkan dengan senyuman. Malik Fadjar juga senantiasa mementingkan multikulturalisme dan menghadapi perbedaan dengan bijak.
”Terima kasih Malik Fadjar atas persahabatan yang telah kita rajut dan sudah mampir di kehidupan saya,” tandas Franz mengakhiri ulasannya dalam mengenang sang guru bangsa ini. (*)
Editor Sugeng Purwanto