Keakraban yang Hilang karena Buzzer oleh Daniel Mohammad Rosyid, Guru Besar ITS dan Ketua Pendidikan Tinggi Dakwah Islam Jawa Timur.
PWMU.CO– Hari-hari ini kita menyaksikan keakraban yang hilang dari kehidupan sehari-hari. Perbedaan pendapat antar warga bangsa disikapi dengan intimidasi, kriminalisasi, saling lapor bahkan permohonan penangkapan atau pembubaran.
Sendi-sendi kehidupan masyarakat yang menyusun modal sosial bangsa ini digerogoti habis-habisan. Mungkin warga bangsa yang kini merasa jumawa tidak menyadari bahwa mereka sedang menjadi remotely controlled puppets, jika bukan useful idiots yang digunakan untuk menindas warga bangsa lainnya.
Setelah Anwar Abbas mempertanyakan wacana pembubaran MUI, sekelompok orang berpakaian ala ulama minta agar Anwar Abbas dipecat dari MUI dan ditangkap karena mengatakan jika MUI bisa dbubarkan, ini juga bisa berarti pembubaran Republik.
Saya mendukung sinyalemen Anwar Abbas. Republik ini dibangun untuk kepentingan publik, bukan untuk sekelompok elite parpol, aparat bersenjata, para taipan bahkan ulama agama manapun sekalipun.
Kerakyatan sebagai pengurusan kepentingan publik, seharusnya dipandu oleh hikmah kebijaksaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Bukan dilaksanakan dengan cara sewenang-wenang, sok kuasa, adigang adigung adiguno, melanggar perikemanusiaan yang adil dan beradab, lalu mengancam persatuan Indonesia.
Sila ke-4 Pancasila itu adalah fondasi Republik ini, yang jika diabaikan secara sengaja akan membawa Indonesia menjadi semacam Roma di tangan Nero. Peminggiran sila ke-4 Pancasila -kerakyatan- sebagai pengurusan publik adalah maladministrasi publik.
Keakraban yang hilang ini sebagian karena kekuatan-kekuatan check and balances oleh DPR, media massa, kampus telah hilang entah kemana. Pada saat aparat bersenjata telah mendegradasikan diri menjadi alat kekuasaan, dan kelompok-kelompok tertentu menyediakan diri menjadi buzzer kekuasaan, maka persekusi tidak sah atas seseorang atau sekelompok masyarakat bisa dilakukan kapan saja.
Yang paling bertanggung jawab atas kemerosotan nilai-nilai Republik ini tentu saja para elite. Dengan memperhatikan konstruksi legal saat ini pasca amandemen ugal-ugalan atas UUD 45, partai politik yang berkuasa serta para taipan yang mendukung logistik partai politik itu adalah yang paling bertanggungjawab.
Sulit untuk tidak mengatakan bahwa partai politik telah membajak tidak saja demokrasi, tapi telah membajak Republik dan menelikung Pancasila.
Saya melihat fenomena skandal PCR yang melibatkan pejabat publik dan korporasi adalah model intimidasi sekaligus maladministrasi publik dalam ukuran raksasa.
Sebaiknya para tokoh masyarakat dan ulama, para cendekiawan menyadari bahwa skenario balkanisasi atas Republik ini sedang dijalankan oleh kekuatan-kekuatan nekolimik asing dengan memanfaatkan para freeriders domestik.
Janganlah kita mau dijadikan alat, apalagi useful idiots, untuk menghancurkan Republik yang telah didirikan dengan keringat, darah dan airmata oleh para pendiri bangsa dan para pahlawan.
Rosyid College of Arts, Gunung Anyar, 26/11/2021
Editor Sugeng Purwanto