Guru Menurut Kitab Taklim Mutaallim oleh Alfain Jalaluddin Ramadlan, mahasiswa Universitas Muhammadiyah Lamongan.
PWMU.CO– Hari Guru Nasional diperingati pada 25 November. Tanggal itu adalah berdirinya Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), tepat 100 hari setelah proklamasi kemerdekaan.
Semula bernama Persatuan Guru Hindia Belanda (PGHB) didirikan tahun 1912. Anggotanya guru bantu, guru desa, kepala sekolah, penilik sekolah. Munculnya kesadaran berbangsa lalu berubah nama menjadi Persatuan Guru Indonesia (PGI) pada tahun 1932.
Perubahan nama dengan memakai kata Indonesia tak disukai pemerintah kolonial Belanda. Namun organisasi ini berjalan terus. Memasuki zaman Jepang semua organisasi dilarang termasuk PGI.
Setelah kemerdekaan Indonesia, para guru mengadakan Kongres Guru Indonesia pada 24-25 November 1945 di Surakarta. Di akhir kongres mereka sepakat membentuk Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI).
Lewat Keputusan Presiden No. 78 Tahun 1994 menetapkan tanggal 25 November sebagai Hari Guru Nasional.
Tradisi Pesantren
Tak dipungkiri guru berperan penting mencerdaskan kehidupan bangsa. Karena itu ada adab menghormati guru yang memberikan ilmu.
Dalam tradisi pesantren, menghormati guru, ustadz atau kiai berkaitan juga dengan berkah ilmu yang diterima. Ilmu yang membawa berkah itu yang dicari para santri. Bukan sekadar hafal dan pintar.
Kitab Taklim al-Mutaallim yang sangat populer di kalangan pesantren menjadi pedoman adab mencari ilmu. Para santri yang ingin mendapatkan ilmu disebut murid. Ada lagi istilah thalib, artinya pencari ilmu.
Dibutuhkan enam perkara mencari ilmu yaitu cerdas, sungguh-sungguh, sabar, ada biaya, ada guru, dan waktu yang lama.
Adab menghormati guru menurut kitab Taklim al-Mutaalim itu bagi orang modern sekarang ini bisa jadi dianggap kolot, tidak demokratis. Namun bagi kalangan pesantren adab itu tetap dipakai hingga kini.
Adab menghormati guru oleh murid merujuk kitab itu bisa dijelaskan sebagai berikut.
Pertama, mengucapkan salam tiap bertemu. Jangan sampai malas atau malu kalau bertemu guru apalagi kabur.
Kedua, sami’na wa atha’na. Mendengar dan patuh selama tidak memerintahkan kemaksiatan. Sikap seperti ini yang zaman sekarang dinilai tidak demokratis. Tidak boleh berdebat. Tapi sami’na wa atha’na mengajarkan sifat tawadhu.
Ketiga, bersikap lemah lembut. Guru adalah orangtua kedua di sekolah. Karena itu berlaku yang baik. Berbicara dengan yang sopan. Tidak berteriak, membentak, apalagi menantang duel sewaktu ditegur. Atau lapor polisi dengan tuduhan melakukan kekerasan kepada anak.
Keempat, bersikap antusias saat guru mengajar. Jangan ngobrol apalagi tidur. Itu tanda meremehkan guru.
Kelima, berterima kasih telah memberi ilmu dan berdoa semoga bermanfaat, menambah kecerdasan, memperbaiki akhlak.
Keenam, mendengarkan nasihatnya.
Selamat Hari Guru. (*)
Editor Sugeng Purwanto