Kampanye Erick Tohir oleh M Rizal Fadillah, Pemerhati Politik dan Kebangsaan
PWMU.CO– Hak siapapun termasuk menteri untuk memiliki keinginan menjadi presiden. Masalahnya adalah pada kemampuan dan reputasi yang menunjangnya.
Erick Tohir, Menteri BUMN, tidak terkecuali. Fenomenanya adalah semangat besar Erick untuk melangkahkan kaki bahkan berlari menuju persaingan Pemilihan Presiden 2024. Kampanye Erick Tohir sepertinya sudah dimulai.
Dari memasang foto diri di berbagai ATM hingga ikut gaya Jokowi blusukan. Saat ke SPBU Pertamina tampil mencari simpati meminta penggratisan WC yang tentu ditertawakan oleh banyak orang khususnya netizen. Kok Menteri BUMN ngurus WC, begitu celetukannya.
Kasus Real Time Polymerase Chain Reaction (RT PCR) masih membelitnya. Bersama Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan, Erick dituduh di saat pandemi berbisnis mencari keuntungan pelayanan test PCR. Dari awal harga dua jutaan hingga turun menjadi 275 ribu rupiah.
Dugaan betapa besar keduanya mengeruk keuntungan. Hebatnya menurut Erick Tohir soal harga itu ternyata dibahas bersama dengan presiden. Nah presiden terseret.
Luhut mengakui ada keuntungan tetapi konon untuk kepentingan sosial. Tidak menerima keuntungan pribadi, sergahnya. Publik masih bertanya tentang KKN dalam bisnis PCR. Tentu Erick disorot tajam.
Mungkinkah untuk menambah pundi biaya kampanye presiden yang mulai dijalankannya? Adakah prestasinya yang signifikan menjadi modal politik untuk berkompetisi? Jawabannya, tidak. BUMN kalang kabut nyaris pada bangkrut.
BUMN yang terancam bubar seperti Merpati Nusantara, Istaka Karya, PT Iglas, PT Kertas Leces, dan Sandang Nusantara. Jalan tol dijual murah, Bandara Kualanamu terambil oleh India dan Prancis. Pertamina, KAI, dan Angkasa Pura megap-megap. Pengelolaan aset dan perusahaan pelat merah memang amburadul.
Utang besar dan berat BUMN tentu menjadi tanggung jawab sang Menteri. PLN (500 triliun), Waskita Karya (91,76 triliun) Garuda (70 triliun), Wijaya Karya (45,2 triliun), Krakatau Steel (40 triliun), Adhi Karya (34,9 triliun), dan lainnya. Ambisi di tengah keterpurukan adalah contoh budaya tak sadar diri dan tak punya malu. Modal pengusaha dan kekayaan pribadi saja tidak cukup. Prestasi kerja yang jeblok.
Ambisi tanpa prestasi menjadi wajah pejabat negeri. Deklarasi pedukung Luhut untuk Presiden jadi lucu-lucuan. Begitu juga dengan parodi Pendukung Cinta Republik (PCR) yang mendeklarasikan pasangan Luhut-Erick Tohir. Konon PCR rasa lain. Ada juga deklarasi Ganjar-Erick Tohir. Erick sendiri membantah deklarasi atas inisiatifnya.
Presiden Jokowi untuk tiga periode, atau memperpanjang jabatan dengan alasan pandemi atau mendorong kandidat boneka untuk proteksi adalah adalah wujud dari ambisi tanpa prestasi.
Sama dan serupa dengan Erick Tohir yang blusukan ke WC sebelum masuk ke dalam gorong-gorong. Gorong-gorong yang menjadi awal bencana politik bangsa. (*)
Bandung, 27 November 2021
Editor Sugeng Purwanto