Selalu Kritis
Pak Nas pernah memimpin MPRS. Tentang kiprahnya itu, antara lain bisa diikuti di sini Bahwa, pada 1966, Pak Nas sebagai senior ABRI, dilantik menjadi Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS).
Lebih lanjut disebutkan, pada saat menjabat sebagai Ketua MPRS, untuk kali pertama Lembaga Tertinggi Negara itu menolak pidato pertanggungjawaban Presiden Sukarno yang dikenal dengan nama Nawaksara. Lalu, dalam sidang MPRS di bawah pimpinannya, Jenderal Soeharto dilantik menjadi Pejabat Presiden, yang kemudian menjadi Presiden pada tahun 1968.
Sejak 1968, setelah berakhirnya Sidang Umum V MPRS, Pak Nas secara resmi berada di luar tugas-tugas resmi jabatan pemerintahan Republik Indonesia. Beliau pensiun dari dinas aktif TNI-AD pada 1972.
Mengisi masa purnatugas, Pak Nas lebih leluasa untuk menulis. Ada memoar, seperti: Kenangan Masa Muda, Kenangan Masa Gerilya, Memenuhi Panggilan Tugas, Masa Pancaroba, Masa Orla, Masa Kebangkitan Orba, dan Masa Purnawirawa.
Masih ada buku-buku Pak Nas yang lain. Judul-judulnya adalah: Pokok-Pokok Gerilya, TNI (dua jilid), dan Sekitar Perang Kemerdekaan (sebelas jilid). Sekali lagi, gagasan Pak Nas mengenai perang gerilya di buku berjudul Pokok-Pokok Gerilya dijadikan referensi di seluruh dunia (kompas.com).
Dalam perjalanan waktu, fragmen bahwa “Sebagai Ketua MPRS Pak Nas melantik Jenderal Soeharto sebagai Pejabat Presiden dan kemudian menjadi Presiden pada tahun 1968”, tak lalu menyebabkan sikap kritisnya berkurang dan apalagi tumpul. Perhatikanlah, meski Pak Nas adalah pejabat yang melantik Soeharto, beliau tetap berada di barisan tokoh-tokoh nasional yang kritis menyikapi situasi.
Cermatilah, Pak Nas menjadi salah satu tokoh oposisi pada masa rezim Orde Baru. Tercatat, pada 5 Mei 1980, Pak Nas bersama 49 tokoh lainnya menandatangani Petisi 50 yang berisi kritik atas pemerintahan Presiden Soeharto.
Partisipasi Pak Nas dalam Petisi 50 lalu menyebabkan hubungannya dengan Soeharto merenggang. Bahkan, Pak Nas dan semua tokoh Petisi 50 lainnya dilarang ke luar negeri serta akses ekonomi mereka dibatasi.
Sang Pahlawan
Atas berbagai capaian prestasinya yang cemerlang, Pak Nas mendapat gelar Doktor Honoris Causa dari sejumlah kampus. Di bidang Ilmu Kenegaraan (1962), gelar itu beliau dapatkan dari Universitas Islam Sumatera Utara Medan.
Juga, gelar Doktor Honoris Causa di bidang Ilmu Politik didapat dari Universitas Padjajaran Bandung (1962). Pun, mendapat gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas Andalas Padang (1962) dan dari Universitas Mindanao Filipina (1971).
Pada 1997, Pak Nas mendapat pangkat jenderal bintang lima, Jenderal Besar. Di Indonesia, baru ada tiga orang yang menyandang pangkat itu, yaitu Jenderal Besar Soedirman, Jenderal Besar AH Nasution, dan Jenderal Besar Soeharto.
Pak Nas wafat pada 9 September 2000. Alamarhum dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata Jakarta. Sungguh, Bapak Perang Gerilya Indonesia itu akan sangat lama ada dalam ingatan warga negeri ini karena keteladanannya di hampir semua sisi kehidupan. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni