Berdzikir dengan Lisan
Ketiga adalah dzikir dengan lisan. Bagi Agung, berdzikir dengan lisan adalah dengan menggunakannya untuk senantiasa menyebut asma Allah. Karena dengan menyebut asma Allah mengingatkan seseorang agar senantiasa terhubung dengan Allah. Sehingga tradisi yang dibiasakan di lingkungan Muhammadiyah adalah memulai kegiatan dengan membaca basmallah dan kemudian diakhiri dengan hamdalah dan do’a.
Lebih dari itu, standar operasional prosedur (SOP) warga Muhammadiyah adalah tadarus. Dan tadarus sendiri adalah dzikir bi al-lisan. Warga Muhammadiyah selalu baca al-Qur’an, dan—syukur—kalau dilanjutkan dengan mengkaji dan memahami tafsirnya.
Berdzikir dengan Anggota Badan
Keempat adalah dzikir dengan anggota badan dalam bentuk amal kebaikan. Menurut Agung merupakan hal yang luar biasa ketika setiap bulan warga Muhammadiyah diminta iuran dan iuran tersebut diperuntukkan untuk nyaur utang. Tapi begitu mereka tahu utangnya untuk membuat pesantren dan sekolah, maka ia pun mau ikut iuran.
“Coba tidak ada keterpanggilan untuk beramal, maka mustahil amal usaha Muhammadiyah akan terwujud seperti sekarang ini. Membangun amal usaha: pesantren dan sekolah pada hakikatnya adalah menolong dhuafa dan ingat kepada Allah,” terang Agung.
Amal shaleh warga Muhammadiyah dilakukan dalam rangka mentaati perintah Allah dan taqarrub kepada Allah. Sehingga menurut Agung, sudah menjadi watak Muhammadiyah, senang iuran.
”Kalau Muhammadiyah punya inisiatif membangun amal usaha—meskipun bonek—akan banyak warga yang membantu. Warga yang membantu ini bisa karena mendapatkan informasi dari panitia dan bisa jadi karena digerakkan oleh Allah,” tuturnya. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni