PWMU. CO – Perjalanan spiritualitas seseorang tidak bisa diramalkan. Termasuk yang dialami Haji Suparno. Setelah lama tersesat di persimpangan jalan, di tengah tikungan, ia kembali menemukan jalan yang benar.
***
Pengajian Pimpinan Daerah Aisyiyah Surabaya siang itu, Sabtu, 26 November lalu, terasa beda dari biasanya. Dalam rangkaian acara, tercantum sambutan Ketua Rukun Warga (RW). “Baru kali ini dalam pengajian pimpinan ada sambutan Ketua RW,” komentar salah seorang peserta setengah protes.
Rupanya sang Ketua RW bukanlah sosok biasa. Mantan aktivis Kristen itu ternyata penggagas dan penggerak pembangunan masjid yang megah, yaitu Masjid Al-Ikhlas, yang berlokasi di Jalan Wonorejo IV Surabaya–tempat penyelenggaraan pengajian keliling tersebut.
(Baca juga: Kisah Calon Pendeta Maria Sugiyarti yang Akhirnya Dapat Hidayah Masuk Islam)
Namanya singkat, Suparno. Namun pengalaman sipritualnya sangat memikat. Di depan para jamaah ia kisahkan perjalanan hidupnya yang zig-zag. Pria kelahiran Mojokerto, 27 Januari 1955 ini lahir dari keluarga Muslim. Namun karena pengaruh lingkungan pergaulan, pada saat kelas 5 Sekolah Dasar (SD) ia terbawa arus menjadi pemeluk agama Kristen. Dibaptis di Gereja Jawi Wetan Mojowarno, Jombang, saat usianya masuk kelas 2 SMP.
“Saya masuk Kristen, karena waktu kecil di Puskesmas desa ada seorang mantri yang selalu mengajak saya ke gereja, dan sekolah Minggu,” kenang dia tentang masa lalunya yang kelam. Dididik di lingkungan sekolah Kristen, wajar saja ketika dewasa menjadi aktivis gereja yang fanatik. Dia tercatat sebagai anggota Gereja Jawi Wetan, di bawah binaan Pendeta Soemantoro Simino.
(Baca juga: Kisah Islamnya Firanda dan Bimbingan Ibu-Ibu Aisyiyah)
Karena tuntunan pekerjaan, pada 1973 ia pindah ke Surabaya. Di kampung tempat domisilinya yang baru, Jalan Wonorejo IV Surabaya, suami dari Julianingsih ini mendirikan gereja, dengan nama Gereja Bethel Injil Sepenuh (1984).
Seperti dijelaskan di atas, perjalanan spiritualitas seseorang tidak bisa diramalkan. Logikanya, jika sedari kecil sudah dididik di lingkungan Kristiani, kemudian berhasil menjadi pemeluk agama yang fanatik–dibuktikan dengan kesediannya membangun gereja sendiri–mestinya keyakinan tentang agamanya kian kokoh. Tapi iman memang tidak bisa dilogikakan. Ini murni soal hidayah yang menjadi otoritas Yang Maha Kuasa.
(Baca juga: Ragukan Isi Al-Kitab, Gadis Katolik Asal Surabaya Itu Akhirnya Putuskan Masuk Islam)
Itu pula yang dirasakan Suparno. Iman Kristiani yang dianut aktivis Partai Indonesia Perjuangan (PDIP) itu pun terus tergerus. Ia mulai merenung, mengapa di tempat tinggalnya hanya keluarga dia yang Kristen. Ia takut nanti kalau meninggal dunia tidak ada yang bersedia mengubur. “Dulu, di Gang IV Wonorejo ini, yang Kristen cuma saya. Sampai saya berfikir, kalau saya meninggal siapa yang akan membantu menguburkan saya,” kenangnya.
Pada 2003, puncak perenungannya berbuah manis. Ia kian mantap untuk menjadi mualaf. Lalu minta izin pada mitra kerja politiknya, Bambang DH dan Saleh Ismail Mukadar agar diantar ke Masjid Rahmat Surabaya untuk ikrar masuk Islam.
Selanjutnya Baca di Halaman 2