Opini oleh Uzlifah, aktivis Aisyiyah Kota Malang, Sekretaris The HQ Center
PWMU.CO – Kalau ada orang bertanya, organisasi apakah yang paling rapi? Organisasi apa yang paling egaliter? Organisasi manakah yang paling konsisten? Dan organisasi apakah yang paling maju? Jawabannya cuma satu: Muhammadiyah.
Kegigihan warga Muhammadiyah dalam berdakwah tidak bisa dipandang sepele. Ghirah yang tertanam pada setiap kader telah menunjukkan pada dunia betapa potensi militansi Muhammadiyah itu amat kuat.
(Baca juga: Fenomena Ghazwul Fikr dan Ketidaksiapan Generasi Bangsa)
Catatan perjalanan Muhammadiyah sepanjang tahun 2016 ini bisa dibilang paling sulit, seperti menapaki batuan-batuan terjal. Betapa tidak? Ujian yang dilalui begitu berat dan berliku. Baik ujian dari pihak ‘tetangga’ maupun pemerintah.
Berbagai persoalan kenegaraaan, mau tidak mau, telah menyeret organisasi dengan massa terbesar kedua di Indonesia ini, untuk ikut berperan aktif dalam menyelesaikannya. Masih ingatkah dengan kasus Siyono? Seorang guru biasa yang dituduh sebagai teroris dan dibunuh itu. Kasus yang banyak mengundang simpatik dari segenap warga dan simpatisan Muhammadiyah.
(Baca juga: Jelang Pergantian Tahun Baru Masehi: Hantu Degradasi Moral dan Pola Hidup Boros)
Berbagai fakta telah diputarbalikkan, entah siapa yang seharusnya bertanggung jawab. Tapi karena kegigihan sang ahli hukum Busyro Mukoddas—yang juga Ketua PP Muhammadiyah–akhirnya kasus itu juga bisa ditangani secara beradab: sedikit membuka kedok pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.
Godaan setan terkait suap guna menghentikan kajian dan advokasi kasus ini sempat mengemuka. Dan Muhammadiyah tetap bergeming dengan pembelaan bagi mustadhafin dalam kasus ini.
Kemudian penunjukkan Prof Muhadjir Effendi sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, adalah fenomena menairk lainnya bagi Muhammadiyah di thaun 2016. Di samping mendapat angin segar, mantan Rektor UMM itu juga dapat badai. Kenapa? Sudah menjadi hukum alam, satu kelompok dapat madu, maka yang merasa sepaham pun ingin merasakan manisnya madu itu . Begitu pula bila sekelompok mendapat rasa pahit maka yang merasa sepaham pun ingin merasakan pahitnya.
(Baca jugaL Fenomena ‘Om Telolet Om’: antara Gegar Budaya dan Kekeringan Spiritual)
Baru sehari diwawancarai salah satu media elektronik tentang ‘full day’ langsung saja ‘badai-badai buatan’ menerjang. Termasuk ketika Mendikbud berbeda pendapat tentang ‘Moratorium Ujian Nasional’ dengan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Prinsip Muhammadiyah tetap kukuh menghadapi serbuan itu dengan meneguhkan bahwa UN bukanlah satu-satunya parameter out put lembaga pendidikan di Indonesia ini.
Hal ini merupakan sign atau pertanda ketika amanah jabatan di tangan kader Muhammadiyah, maka banyak orang yang dibuat gerah dan masuk perangkap dengan berbagai peluru yang menumpang ‘atas nama pro dan kontra’ tentang berbagai problematika yang bertautan dengan kepentingan dan kerakusan kekuasaan. Baca sambungan di halaman 2 …