PWMU.CO– Tiga pesan Haedar Nashir untuk kemajuan Lazismu disampaikan saat pembukaan Rakernas Lazsismu 2022 di Asrama Haji Pondok Gede Jakarta, Jumat (10/12/2021) siang.
Rakernas diikuti oleh utusan Lazismu Provinsi se Indonesia. Tema yang diangkat Inovasi Sosial untuk Pencapaian SDG’s. Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah Prof Haedar Nashir menyampaikan sambutan secara daring dari Yogayakarta.
Dia memberikan apresiasi yang tinggi atas segala prestasi, ikhtiar, khidmat, dan kerja praksis dari seluruh pejuang Lazismu sehingga mencapai kemajuan umat.
Selain itu, Haedar juga menyampaikan capaian Lazismu tersebut tentu juga sekaligus perlu secara seksama dilakukan perbaikan dan mengembangkan inovasi mendalam sehingga pasca Rakernas Lazismu semakin berkembang dan maju.
“Perlunya revitalisasi seluruh jajaran Lazismu agar bisa hadir sebagai institusi Muhammadiyah melalui ZIS (zakat, infak, sedekah) yang menjadi prolem solving atas problem kemiskinan sosial dan lainnya yang menjadi bidang Lazismu,” kata Haedar.
Untuk mewujudkan kemajuan Lazismu, Haedar Nashir menyampaikan amanat dan arahan bagi peserta Rakaernas Lazismu. Tiga pesan Haedar Nashir itu
Pertama, mengembangkan Teologi Umran yaitu membangun tanpa merusak
Haedar mengatakan, Ibn Khaldun memberikan warisan pemikiran yang pemting yakni Teologi Umran untuk membangun umat dan kemanusiaan yang lebih baik dan komprehensif. Yakni dari aspek jasmani dan ruhani, juga individu dan sosial.
“Ber-ZIS semangatnya adalah Teologi Umran. mMnjadi khalifah fil ardhi sesungguhnya adalah perintah untuk menjadi orang yang dengan tangan di atas bukan bukan di bawah. Membangun bukan merusak,” ujar Haedar.
Menurut dia, perlu ada pembangunan yang tidak ambisius seperti dalam ideologi kapitalisme yang mengeksploitasi sehingga merusak planet. “Tidak hanya di level ekonomi tapi juga politik,” imbuhnya.
SDG’s sebagai satu kebijakan merupakan komitmen melanjutkan DG’s dari tahun 2000.
“Umat perlu memiliki pranata sosial yang kokoh untuk punya fungsi membangun untuk menghindari kerusakan. Ini menjadi ikhtiar kita berada di perspektif pembangunan. Membangun untuk kemakmuran hidup yang tidak rakus tapi juga tidak berbudaya mustahik,” tandas guru besar Universitas Muhammadiyah Yogyakarya ini.
Kefua,. ZIS yang problem solving: Pemetaan Prioritas Masalah.
Dijelaskan, semangat ZIS adalah menjadi problem solving permasalaham umat dan bangsa. Ini akan meletakan Lazismu menjadi lembaga yang efektif, efisien, memiliki prioritas dan tepat sasaran dalam menyelesaikan keduafaan dan lainnya.
“Perlu pemetaan problem ekonomi dan sosial masyarakat. Bagaimana memberikan program yang memecahkan masalah,” ujar Haedar.
Fakta saat ini, sambung dia, terjadinya peningkatan kemiskinan dan pengangguran akibat pandemi. Juga banyak bencana perlu kehadiran Lazismu dan organisasi lain di Muhammadiyah secara terorganisasi. Ini membawa pada problem yang beragam dan perlu pemecahan permasalahan yang efektif dan efisien serta profesional.
“Cari yang terpenting dari yang penting. Banyak yang datang ke Lazismu sehingga perlu dipetakan dan diolah agar menjadi prioritas yang kemudian dikemas secara menarik” kata Haedar.
Ketiga, mengintegrasikan program dengan lembaga Muhammadiyah yang lain
Haedar mengamanatkan perlunya akselerasi yang lebih luas lagi kerja sama dengan Aisyiah, Ortom, dan organisasi lain hingga ke bawah dalam memobilisasi sumberdaya sumber ZIS.
“Diperlukan kerja yang semakin amanah good governance, profesional dan luas jangkauannya. Ini akan menjadi langkah mengokohkan institusi Mhammadiyah,” ujar Haedar.
Ditegaskan, konteks penguatan kelembagaan yang terintegrasi dengan peran aktivisnya, pimpinannya yang amanah dan tepercaya karena ini adalah lembaga yang krusial.
“Bukan hanya mengurusi titipan harta tapi ada nilai-nilai sakral transendensinya. Menjadi penyuci, menyantuni orang-orang yang miskin. Mentasrufkannya sebegitu rupa. Sehingga mentransformasi mustahik menjadi muzakki,” tuturnya.
Pesan terakhir Haedar agar terus memperkuat sistem Lazismu. Penghargaan yang tinggi bagi para penggerak Lazismu dari atas hingga bawah demi kerja yang amanah. “Kita sesungguhnya sedang tijaroh, berjual beli dengan Allah dan menjadi amal jariyah kita,” pungkas Haedar. (*)
Penulis Kumara Adji Editor Sugeng Purwanto