PWMU.CO– KH Ahmad Dahlan itu inovator kreatif yang berani berpikir dan bertindak out of the box. Artinya, keluar dari kebiasaan praktik keagamaan lantas merambah gaya baru yang dianggap sangat penting untuk dilakukan.
Hal itu disampaikan Dirjen Haji Kementerian Agama Prof Dr Hilman Latif dalam Rakernas Lazismu hari kedua di Asrama Haji Pondok Gede Jakarta, Sabtu (11/12/2021).
“Inovasi Kiai Ahmad Dahlan dapat dilihat dari cara menerjemahkan dan memaknai surat al-Ma’un sehingga menjadi sangat fungsional dan melahirkan inovasi sosial. Kiai Dahlan mengaitkan surat ini dengan problematika kemiskinan dan menawarkan gerakan kolektif dalam menangani kelompok-kelompok terpinggirkan, anak yatim dan anak jalanan,” kata mantan Ketua Lazismu Pusat ini.
KH Ahmad Dahlan itu inovator kreatif, sambung dia, dapat dilihat dari kemampuannya mengambil inisiatif, menawarkan strategi, mengimplementasikan semangat Islam dan mengoptimalkan aset sosial dalam menangani fakir miskin pada waktu itu.
Objektivikasi nilai Islam versi Ahmad Dahlan, meminjam istilah dari Kuntowijoyo, diwujudkan dalam bentuk amal-usaha dan infrastruktur sosial lainnya guna memberikan solusi konkret terhadap masalah-masalah sosial, terutama ketimpangan dan kemiskinan.
“Dengan kreativitas dan inovasi, suatu entitas kecil bisa berpengaruh besar terhadap perubahan masyarakat, bahkan dunia. Demikian pula sebaliknya. Di masa kolonial, sebuah kawasan paling luas di Asia Tenggara, yaitu nusantara, dijajah selama ratusan tahun hanya oleh sebuah kerajaan kecil Belanda,” ujar Hilman Latif.
“Bukankah Persyarikatan Muhammadiyah hanya berawal dari sebuah pengajian beberapa orang anak muda di kampung Kauman, Yogyakarta? ” tuturnya.
Masih ingatkah kisah ini: bagaimana ketika seorang anak muda, Sujak dan saudaranya ditertawakan masyarakat ketika sedang menyampaikan ide kemajuan?
Karena itu kata Hilman Latif, kita perlu merenungkan kembali pidato terakhir KH Ahmad Dahlan pada Kongres Muhammadiyah tahun 1923. Meskipun sudah hampir satu abad lalu, tapi isinya masih segar dan relevan untuk saat ini.
Di dalam pidatonya, disebutkan bahwa permasalahan keumatan dan kebangsaan, bila diringkas, berakar dari masalah kepemimpinan masyarakat, seperti: 1) kurang wawasan; 2) banyak bicara dan kurang kerja; 3) belum memperhatikan kepentingan bangsa dan hanya mementingkan kelompoknya sendiri, bahkan dirinya sendiri.
Menurut Kiai Dahlan, orang harus beragama dan meningkatkan pengetahuan untuk dapat menjadi penggerak kemajuan. Ia berpesan, “jangan merasa lelah dalam bekerja dan menghidup-hidupkan Muhammadiyah!”
Dengan pidato setajam itu, semestinya mampu mendorong diri kita untuk melakukan introspeksi sosial yang jika diperkaya dengan kreativitas dan imajinasi, niscaya akan melahirkan berbagai-bagai inovasi sosial.
Dengan demikian, kata Hilman, tema inovasi sosial yang diusung Lazismu adalah bagian dari penerjemahan terus menerus tentang konsep tajdid dan ijtihad untuk memberikan lebih banyak kemudahan bagi Lazismu dalam melakukan perubahan di masyarakat.
Inovasi dilakukan untuk menegaskan dan mengukuhkan bahwa Muhammadiyah adalah organisasi yang lincah, berpikiran maju, penuh inisiatif, dan inovatif.
Tugas Lazismu sebagai bagian dari gerakan filantropi Islam Muhammadiyah adalah memproyeksikan agenda perubahan yang lebih tertata, sistematis, berdampak luas dan berkelanjutan. (*)
Editor Sugeng Purwanto