Muhammedanisme dan Muhammadiyah oleh Nurbani Yusuf, Komunitas Padhang Makhsyar.
PWMU.CO– Para orientalis semisal HAR Gibb dan Snouck Hurgronje kerap memanipulasi Islam dengan Muhammadiyah atau Muhammadanisme. Keduanya dipadankan. Merujuk pada pengertian bahwa Islam adalah hasil cipta rasa dan buah pikir atau akal budi Muhammad semata.
Para orientalis hanya hendak mengatakan, Islam tidak berasal dari wahyu, sebab itu masih debatable dan tidak mutlak benar. Upaya menggiring secara apologetik agar Islam terkesan absurd dan sama dengan isme-isme lainnya. Setidaknya sama dengan Kristen yang keruh karena tidak bisa memilah antara yang great tradition dan yang bukan.
HAR Gibb tak kunjung paham. Hurgronje menulis ragu tentang Mohammadanisme. Tulisannya penuh nada gelisah, juga ragu yang sangat, tapi kepo. Istilah-istilah teknis memang kerap membingungkan dan kita ada di antaranya.
HAR Gibb menulis apologetik tentang batasan agama, utamanya Islam. Ia menarik garis demarkasi tegas meski dipaksakan. Bahwa Islam adalah ’agama Muhammad’. Sekilas benar, tapi ia hendak memanipulasi bahwa Islam adalah hasil pikiran, dan akal budi Muhammad bukan wahyu dari Allah.
Maka Muhammedanisme disamakan dengan isme-isme yang lain. Marxisme, Leninisme, Keynesian, Weberian, Hegelian, Lutherian bahkan Calvinis atau seperti madzhab yang berkembang riuh: Hanafiyah, Malikiyah, Syafiiyah, Hanabilah dalam fikih.
Bisa juga Washiliyah, Jahamiyah, Asyariyah, Maturidyah, Wahaby dalam kalam, atau Tijaniyah, Qadiriyah dan Naqsabandiyah dalam tasawuf. Tapi cukupkah itu untuk bisa menjelaskan soal yang rumit ini dalam satu kemasan pendek?
Implikasi paradigmatik Islam disebut Muhammedanisme adalah Snouck Hurgronje menganggap seluruh ajaran Islam yang diyakini, dipahami, dan dipraktikan dalam kehidupan umat Islam dari sejak wafat Rasulullah saw sampai abad 19 Masehi adalah dibuat dan diciptakan oleh Muhammad bin Abdullah.
Sebab itu pernyataan HAR Gibb bahwa Islam sepadan dengan Muhammedanisme (Muhammadiyah) adalah kerendahan yang tidak berdasar. Tapi bagaimana bisa menjelaskan?
Bangun paradigmatik ini urgen dijelaskan di kalangan Persyarikatan kita agar bisa tegas dan jelas memilah bahwa Muhammadiyah yang di dalamnya kita berserikat dan berkumpul ini bukanlah Muhammadiyah yang sepadan dengan Muhammedanisme sebagaimana yang dipahami para orientalis yang banyak khilaf.
Sebab Muhammadiyah yang kita pahamkan adalah dalam pengertian ’harakah atau gerakan’. Doktrin ideologisnya adalah Al Islam agamaku, Muhammadiyah gerakanku. Lazimnya harakah, maka ia butuh energi untuk menggerakkan, memberi warna dan konstruk ideologis.
Pernyataan Prof Haedar Nashir bahwa karakter Muhammadiyah tak jauh-jauh dari pendirinya adalah kredo ideologi. Tegas saya bilang, meski disamarkan mungkin karena problem dilematik: satu sisi Muhammadiyah tegas mengambil jalan tidak bermadzhab, satu sisi lainnya butuh ideologi sebagai katup pengaman gerakan. Sebab saya tahu ada ikhtiar untuk menjauhkan Muhammadiyah dari pendirinya agar bisa leluasa bergerak tawarkan ideologinya. Wallahu taala a’lm. (*)
Editor Sugeng Purwanto