Membangun Mimpi Orang Lain oleh Lambang Saribuana, Ketua PCM Manggarai Jakarta.
PWMU.CO– Siapakah yang membuat Candi Borobudur?
Gunadarma. Salah. Dia itu hanya arsitek Candi Borobudur.
Syailendra? Juka bukan. Itu kan penguasa kala itu.
Lah, terus siapa yang membangun?
Jawabnya adalah kuli batu.
Lho kok di buku sejarah ditulis bahwa Borobudur dibangun oleh Wangsa Syailendra?
Memang begitulah jalan roda sejarah. Menentukan siapa yang ditempat posisi atas, siapa yang harus di bawah. Pekerja bangunan, arsitek, bahkan ahli sipil tidak penting ditulis dalam catatan sejarah. Baik nama, peran, apalagi upahnya berapa. Seberapa vitalnya kontribusi yang diberikan, tetap saja tidak dicatat dalam sejarah. Itu tidak penting.
Yang diingat adalah siapa yang memiliki gagasan pertama kali. Serta bagaimana mereka mewujudkan mimpi. Pekerja bangunan,arsitek dan ahli sipil hanya tukang yang mengerjakan mimpi orang lain. Membangun mimpi orang, merajut gagasan orang dan mewujudkannya.
Sekali lagi, pemilik mimpilah yang dikenang dalam sejarah. Forever.
Saya ingin mencoba membawa narasi di atas untuk contoh analogi. Ini terkait oleh sebagian profesi saya sebagai amil. Amil di Lazismu.
”Apakah kita punya mimpi atau gagasan yang akan diwujudkan? Atau jangan-jangan selama ini yang saya lakukan hanyalah menjahit mimpi pihak lain?”
Selama lima tahun menjadi amil, ada pertanyaan besar muter-muter di labirin otak. Pertanyaan yang selalu menghantui, ”Sudahkah saya mengisi otak saya dengan gagasan besar?”
Kalau saya tidak memiliki mimpi, tidak memiliki gagasan, tidak berusaha membuatnya menjadi nyata. Maka sebenarnya saya mempersiapkan diri untuk dibeli orang atau pihak lain untuk membangun mimpi mereka.
Tergantung Donatur
Saya bersyukur bisa belajar banyak hal di Lazismu. Menyerap banyak ilmu dari para pimpinan. Belajar dengan melihat dari mata kepala sendiri, dengan hati saya mengamati dan dengan dua telinga saya mendengarkan penuturan para direktur dan mantan direktur di Lazismu.
Dari apa yang mereka lakukan dan kebijakan yang dibuat. Dari apa yang ditulis dan disampaikan dalam forum terbuka serta tertutup. Saya mencoba menyarikan dari banyak pikiran. Ternyata hal yang menjadi krusial di dunia filantropi adalah apakah lembaga kita punya cukup sumber daya yang independen, sehingga bebas membuat program untuk membangun narasi.
Apakah kita punya cukup sumber daya berlimpah sehingga bebas menentukan arah dan langkah?
Apakah kita bebas berkreasi?
Apakah kita sudah mencoba membangun mimpi kita sendiri?
Apakah kita sudah mencoba merealisasikan bangunan mimpi dengan mengamati proses demi proses, menikmati laju sejarah, dari batu pertama fondasi gagasan?
Ataukah jangan-jangan sumber daya yang kita kumpulkan justru membelenggu? Didominasi oleh dana berlimpah, tetapi hanya pesanan dari para pemilik modal?
Memang wajar, kalau ada perusahaan besar menyumbang Muhammadiyah lewat Lazismu. Karena memang kita adalah NGO tertua dan terbesar di Indonesia. Jaringan kita tak terbatas geografis negara. Jaringan kita mendunia. Bahkan saya sering bergurau, kader Muhammadiyah di lima benua itu ada yang sudah menjadi kader sejak dalam kandungan. Bahkan sebelum menjadi embrio.
Jadi wajar saja kalau donor besar dari perusahaan raksasa menyumbang. Kata almarhum Pak Muchlis, Ketua PCM Tebet Timur, mereka butuh political umbrella. Mereka butuh sesuatu yang abstrak, yang bisa diberikan oleh Muhammadiyah.
Masalahnya bukan di donasi. Masalahnya adalah bahwa kebanyakan dari mereka banyak maunya. Bahkan ada yang mendikte, jenis program harus tertentu, lokasi mereka yang nge-tag, peruntukan mereka yang memutuskan. Bahkan mereka bisa pesan penerima manfaatnya harus si fulan, si fulanah, lengkap dengan alamatnya.
Saya pernah membaca sebuah artikel di sebuah blog. Sayang, sudah lupa linknya. Metode ini seringkali disebut dengan filantropi donor driven. Artinya lembaga zakat dikendalikan oleh para donatur.
Pertanyaannya adalah apa dan di mana peran kita? Apa dan bagaimana strategi pengentasan kemiskinan? Bagaimana pula kita harus menjawab atas pertanyaan tentang pemberdayaannya.
Kotak Amal
Mari kita melangkah sedikit ke metode fundraising tradisional di masjid-masjid. Dengan kotak amal yang sederhana dan berputar berkeliling saat khutbah Jumat. Atau pengumpulan zakat fitrah di hari raya Idul Fitri.
Maka kita akan melihat keistimewaan ZIS dalam konsep asli dari Islam.
Di mana keleluasaan pengelolaan anggaran ada di tangan amil zakat (lembaga). Islam cukup memberi rambu-rambu yang simple. Yaitu dengan panduan 8 ashnaf dan hak amil sebesar 12,5 persen.
Semua ide besar tentang pemberdayaan masyarakat dan bagaimana amil bisa mengentaskan kemiskinan bisa dijalankan. Sebuah konsep zakat yang luar biasa dan istimewa.
Lembaga amil menjadi lembaga independen yang powerfull, tidak bisa dipengaruhi oleh siapapun, bahkan oleh penguasa sekalipun. Kreativitas amil sangat terbuka untuk mengaktualisasikan gagasan. Kaderisasi dan pembangunan jati diri bisa dijalankan.
Dan yang terpenting dari itu semua adalah, bahwa amil bisa merencanakan sendiri. Membangun mimpi, merajut gagasan tentang indahnya peradaban masa depan.
Sekarang tahu kan, apa bedanya membangun gagasan dan merajut mimpi orang lain?
Memang benar, jika kita mengerjakan program milik korporasi lain itu lebih mudah. Kadang angka- angkanya cukup fantastis. Dengan tajuk sebagai operator sumbangan dari perusahaan tertentu, kita tak perlu banyak keringat mencari data dan dana. Mereka datang sendiri.
Meski kadang pas mengerjakan juga ngedumel, karena minimnya hak operasional. Banyaknya daftar pesanan yang mengebiri kreativitas. Tapi harus tetap dijalankan. Karena cash is king, donator adalah ndoro yang tak mungkin diprotes. (*)
Editor Sugeng Purwanto