Dimensi Ilahi
Pelajaran selanjutnya, kata Din, di dalam jantung itu ada dimensi Keilahian. Di mana menurut kaum sufi ada dimensi lahut dan dimensi nasut.
“Di dalam jantung, ada neuron dan sambungan-sambungan yang rumit sekali, kayak kabel yang kusut itu,” ujarnya mengingat gambaran yang dr Aisah Dahlan tampilkan sebelumnya.
Din Syamsuddin mengungkap kenapa Allah mengembuskan ruh di dalam jasad, tapi menghadirkan satu tempat paling sentral dalam diri manusia yang dimensinya lahut (kebaikan-kebaikan Ilahi).
“Kalau mau menemui Tuhan dengan qalbun saliim, kalbu yang selamat dan sehat, senantiasa hadirkan dimensi Tuhan yang ada dalam jantung manusia!” tuturnya.
Jika menginginkan ketenangan jiwa dari segala kerumitan dalam diri kita—misal karena punya banyak uang, benci, dengki, cinta, dan lainnya—dia menyarankan agar berhubungan kepada Tuhan. “Ala bidzikrillahi tathmainnul qulub.”
Artinya, “Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah (berdzikir), hati menjadi tenteram.” Dia mengatakan, dengan mengingat Allah, Allah berada secara transendental dalam doa. Muhasabah dan muqarabah inilah yang akan membawa diri manusia ke dalam ketenangan.
“Jadi kalau dia cinta, cinta kepada sesama manusia, sesungguhnya karena dia mencintai Ilahi!” tegasnya.
Dia menjelaskan dari sekian banyak jenis cinta dalam Psikologi, cinta kepada Tuhan—jenis cinta yang tertinggi—inilah yang harus kita hadirkan. “Marilah kita senantiasa taqorrub Illallah, dzikrullah. Jika banyak dosa beristighfar, muhasabah, sehingga menjadikan qolbun saliim,” ajaknya.
Akhirnya, di ujung kajian itu Din Syamsuddin mengungkap obsesinya mempertemukan penjelasan berbagai disiplin ilmu di Orbit. “Tidak hanya neurosains, tapi juga filsafat, tafsir, hadits yang ada kaitannya dengan perspektif Islam,” ungkapnya. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni