The Partnership Paradox
Menurut dr Aisah Dahlan, banyak ahli menyebut Cinta dan benci sebagai the partnership paradox. “Perasaan yang berlebihan terhadap sesuatu dapat menyebabkan perubahan terbalik dari perasaan semula,” ungkapnya.
Studi neurolog dari University College London Semir Zeki dan John Paul Romaya (2008) menemukan perasaan cinta dan benci muncul dari area yang sama di dalam otak yaitu sistem limbik. “Ketika rasa cinta meningkat, rasa benci juga ikut bertumbuh tapi pengaruhnya tertutupi oleh perasaan cinta,” terang Aisah Dahlan.
Jika ada sesuatu yang memicu hadirnya benci, lanjutnya, maka dengan mudah cinta akan berbalik menjadi benci. Pemicunya ini biasanya berupa memori masa kecil, remaja, maupun dewasa. Selain itu, bisa berupa perbedaan yang muncul sehingga yang tadinya cinta bisa menjadi benci, dan sebaliknya.
Dia mengutip pesan Rasulullah Saw dalam hadits riwayat Tirmidzi, “Cintailah kekasihmu sekadarnya. Boleh jadi suatu saat nanti ia menjadi musuhmu. Bencilah musuhmu sekadarnya. Boleh jadi suatu saat nanti ia menjadi kekasihmu.”
Rindu
Aisah Dahlan lantas menerangkan rindu. Yaitu bentuk emosi yang mewarnai pikiran dan perasaan manusia, muncul karena ingin bertemu atau kembali pada momen yang ada sosok tertentu. Rindu, tambahnya, bagian dari si empat serangkai: cinta, rindu, cemburu, dan benci.
Dia mencontohkan, rindu pada tempat bersama seseorang yang membuat bahagia. “Kalau di dalam otak sudah terpasang anchor-nya di situ, datang ke tempat itu, meski orangnya tidak di sana, muncul kerinduan,” ungkapnya.
Dalam tingkat normal, kemunculan rindu masih bisa dikendalikan, bisa terlupakan sendiri, dan tidak sampai ada perasaan emosional yang berlebih. “Rindu ini sebenarnya lazim,” ujar dr Aisah.
Tapi rindu juga bisa berlebihan dan tidak wajar. “Pada titik tertentu rindu juga bisa menekan dan membuat seseorang depresi jika tidak bisa dikendalikan, bisa merusak kesehatan,” terangnya.
Baca sambungan di halaman 3: Sistem Limbik