Sakit TBC dalam Perang Gerilya
Setelah Presiden Sukarno menolak keluar dari Ibu Kota Yogyakarta, Jenderal Soedirman memastikan untuk menjalankan strategi gerilya. Banyak pihak mengkhawatirkan kondisi sang jenderal karena baru pada bulan Nopember 1948 menjalani operasi paru-paru akibat infeksi TBC.
Jawaban yang disampaikan pada pihak-pihak yang mengkhawatirkan kesehatannya termasuk pada Presiden Sukarno dan istri tercintanya cukup mengagetkan “Yang Sakit Soedirman, Panglima Tidak Boleh Sakit”. Soedirman memiliki sikap bahwa pimpinan militer tidak boleh tertangkap agar bisa menjadi salah satu pemegang komando negara.
Tanggal 20 Desember 1948 pihak Belanda menetapkan Sukarno, Hatta, Sjahrir dan para anggota kabinet ditetapkan sebagai tahanan rumah, selanjutnya diasingkan di sejumlah tempat di Sumatera dan Pulau Bangka.
Tepat pada tanggal 19 Desember 1948 pada hari yang sama dengan Agresi Militer II, Jenderal Soedirman memulai gerilya ditandai dengan menggunakan mobil keluar dari Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat menuju daerah Kretek di Bantul singgah selama sepekan dilanjutkan menuju Playen Gunungkidul.
Dari Gunungkidul gerakan berlanjut ke Wonogiri sejauh 12 kilometer, dalam perjalanan menuju Wonogiri Sudirman sempat mengeluarkan perintah agar TNI tidak tunduk kepada siapa pun dan dilarang melakukan perundingan dengan pihak Belanda.
Memasuki wilayah Jawa Timur sempat terjadi kesalahpahaman dengan ditawannya rombongan gerilya Jenderal Soedirman oleh pasukan Indonesia sendiri. Kesalahpahaman terselesaikan oleh kehadiran Kolonel Sungkono selaku Panglima Divisi Brawijaya menjelaskan kepada para pasukan Jawa Timur.
Perjalanan gerilya Jenderal Sudirman terus berpindah-pindah di seputaran Pacitan, Ponorogo, Tulungagung, Kediri, Nganjuk, dan lain-lain demi menghindari penangkapan oleh pihak Belanda.
Dalam menjalankan strategi gerilya, Jenderal Soedirman beberapa kali berganti nama samaran antara lain Mantri Guru, Kiaine, Abdullah Lelonoputro, dan sebagainya.
Baca sambungan di halaman 3: Serangan Umum 1 Maret 1949