Keluarga Pejuang oleh Aji Damanuri, Dosen IAIN Ponorogo.
PWMU.CO– Saya tidak hendak membandingkan antara Rasulullah dengan tokoh lain, karena memang tidak sebanding. Saya cuma membayangkan sebuah keluarga Muhammadiyah itu terdiri dari para pejuang.
Bapak penggerak dakwah Muhammadiyah, ibu sibuk mengurus Aisyiyah, anak-anaknya aktivis Ikatan Pelajar Muhammadiyah, Naisyatul Aisyiyah, Pemuda Muhammadiyah, Tapak Suci dan ortom lainya. Keluarga yang merasa gelisah ketika melihat masjid kosong tidak ada kegiatan, tergerak hatinya membantu fakir miskin. Intinya keluarga pejuang.
Ketika melihat pasangan Haedar Nashir dan Siti Noorjannah Djohantini, lamunan saya sampai pada Dahlan dan Walidah, bahkan Rasulullah dan Khadijah juga Aisyah. Mereka adalah keluarga pejuang yang perlu diidealkan dan didolakan.
Banyak para tokoh yang tidak memiliki penerus perjuangan biologis karena kurang yakin dengan masa depan pendidikan agama. Bapak seorang juru dakwah, istrinya menjadi juru ghibah. Ibu penggerak pengajian, anak lebih banyak menghabiskan hidup di jalanan bersama preman.
Coba kita tengok kembali bagaimana pasangan Rasulullah dan Khadijah yang saling menguatkan dalam berdakwah di awal risalah. Bahkan Khadijah merelakan banyak hartanya untuk dakwah Rasulullah.
Begitu pula Aisyah yang menjadi pendamping kritis, bahkan beberapa kali memprotes dan mempertanyakan sikap Rasulullah. Kemudian dijelaskan dan mendukungnya. Aisyah tidak saja mendampingi Rasulullah ketika menerima tamu politik, namun juga ikut terjun ke medan perang. Aisyah menemani Rasulullah dalam dakwah penyebaran Islam. Karenanya banyak sekali hadits yang bersanad lewat Aisyah.
Keluarga Kiai Dahlan
Hal yang sama dapat kita lihat dari sosok Kiai Ahmad Dahlan dan Nyai Walidah sebagai pasangan keluarga pejuang. Kiai Dahlan mendirikan pergerakan Muhammadiyah pada 18 November 1912 M bertepatan dengan 8 Dzulhijjah 1330 H di Yogyakarta.
Tantangan Kiai Dahlan dalam berdakwah amatlah berat. Beliau pernah dituduh kafir, dianggap sesat, difitnah hendak mendirikan agama baru, bahkan mushala tempat mengajar dibakar. Namun pasangan keluarga pejuang ini tetap gigih dan saling menguatkan meskipun juga sempat frustasi dan memutuskan hijrah.
Sementara Walidah bukan saja mendukung Kiai Dahlan tetapi juga mendobrak kejumudan perempuan dalam pendidikan dan peran sosial. Mungkin ini salah satu faktor kenapa wacana gender kontemporer yang giat memperjuangkan hak dan derajat wanita tidak begitu subur di Muhammadiyah.
Ketika yang lain masih belum menyadari pentingnya emansipasi, lebih dari satu abad yang lalu perjuangan itu sudah dimulai oleh Walidah.
Walidah yang lahir di kampung Kauman pada tahun 1872 Masehi ini tidak pernah mengenal pendidikan formal. Ia hanya belajar lewat ayahnya yang seorang ulama, Kiai Fadhil bin Ibrahim. Namun pemikirannya semaju Kiai Dahlan. Semua ajaran suaminya khususnya dalam bagaimana seharusnya sikap dan perilaku wanita muslim diperhatikan dan dijalankan dalam kehidupan nyata.
Dengan mendirikan kelompok pengajian Sapa Tresna tahun 1914, Walidah menjadi perempuan pertama yang berjuang dalam pergerakan perempuan. Salah satu gebrakan yang dikenang sampai saat ini adalah penentangannya terhadap praktik kawin paksa di usia muda.
Kolaborasi keluarga pejuang ini akhirnya melahirkan Aisyiyah pada 22 April 1917 sebagai wadah gerakan aktivis perempuan. Meskipun Aisyiyah lahir atas perjuangan Kiai Dahlan dan Nyai Walidah namun ketua pertama adalah Siti Bariyah yang dipandang lebih mampu. Walidah baru memimpin Aisyiyah pada tahun 1921-1930.
Keluarga Haedar
Selanjutnya yang tidak kalah menarik adalah pasangan keluarga pejuang Haedar Nashir dan Siti Noorjannah Djohantini, Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah dan Aisyiyah. Keduanya muncul saat tren kekerasan menyelimuti keberagamaan di Indonesia.
Pemikiran dan pembawaanya yang kalem, santun, dan sejuk membawa angin kedamaian bagi umat. Haedar dan Noorjannah adalah pasangan aktivis Muhammadiyah sejak muda. Keduanya juga memiliki kecenderungan yang sama pada pentingnya dakwah digital untuk pencerahan umat.
Puluhan buku dan ratusan artikel telah mereka tulis yang menyebar di berbagai media cetak dan elektronik.
Haedar berhasil menunjukan wajah Islam yang ramah dan moderat bukan sebatas retorika. Ketika tarikan radikalisme menjadi primadona baru para pencari Tuhan, dia berhasil menggiring potensi kader pada karya-karya produktif yang dibutuhkan umat dan bangsa.
Dalam bahasanya, Muhammadiyah harus mengukir tonggak-tonggak peradaban yang dikenang dalam sejarah masa depan. Mendirikan dan merevitalisasi perguruan tinggi, melebarkan dakwah ke luar negeri, memprofesionalkan Lazismu, MDMC, dan berbagai agenda Islam berkemajuan lainnya.
Sementara Noorjannah adalah sosok yang berhasil mengantarkan terbentuknya Universitas Aisyiyah (Unisa) Yogyakarta, perguruan tinggi perempuan pertama di Indonesia. Universitas Aisyiyah adalah mimpi Abdul Kahar Muzakkir tahun 1962 terealisasi pada masa kepemimpinan Noorjanah.
Begitulah pasangan ideal keluarga Muhammadiyah, menjadi pejuang dan pencerah umat. Saya tidak berekspektasi kita seperti pasangan keluarga Rasulullah, Kiai Dahlan, ataupun Haedar Nashir. Cukuplah bagi keluarga Muhammadiyah berusaha menjalankan pedoman hidup islami Muhammadiyah dalam mengurus keluarga.
Karena keluarga merupakan tiang utama kehidupan umat dan bangsa sebagai tempat sosialisasi nilai-nilai yang paling intensif dan menentukan. Karenanya menjadi kewajiban setiap anggota Muhammadiyah untuk mewujudkan kehidupan keluarga yang sakinah, mawaddah warahmah.
Keluarga di lingkungan Muhammadiyah dituntut untuk benar-benar dapat mewujudkan Keluarga Sakinah yang terkait dengan pembentukan gerakan jamaah dan dakwah jamaah menuju terwujudnya masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.
Keluarga juga perlu difungsikan selain dalam mensosialisasikan nilai-nilai ajaran Islam juga melaksanakan fungsi kaderisasi sehingga anak-anak tumbuh menjadi generasi muslim Muhammadiyah yang dapat menjadi pelangsung dan penyempurna gerakan dakwah di kemudian hari. (*)
Editor Sugeng Purwanto