Kejahatan Kesehatan oleh M Rizal Fadillah, Pemerhati politik dan Kebangsaan.
PWMU.CO– Bisnis test PCR yang konon melibatkan dua menteri belum juga tuntas, kini diramaikan lagi soal karantina dengan hotel berbayar mahal. Ratusan TKI telantar menumpuk di Bandara Soekarno-Hatta karena kebijakan pemerintah mereka harus karantina.
Tapi ironinya tempat karantina disebutkan penuh. Anehnya muncul calo-calo hotel berkeliaran menawarkan karantina di hotel dengan biaya Rp 8-10 juta per paket. Kasus ini menjadi sorotan. Kebijakan karantina menimbulkan ekses yang menyengsarakan rakyat. Ternyata vaksin jenis apapun menjadi tidak berguna dengan kebijakan ini.
Pemerintah gamang pada tiga persoalan yaitu kekhawatiran pandemi yang akan meningkat kembali, sektor usaha atau bisnis yang harus dipulihkan, serta pembengkakan dana penanganan pandemi. Kegamangan ini mengakibatkan kebijakan kesehatan yang tidak sistematis, sewenang-wenang, dan menciptakan ketidakpastian hukum.
Jika tanpa kendali aturan yang mamayunginya maka kebijakan kesehatan itu dapat menjadi kejahatan kesehatan atau bahkan berkisi penjajahan. Meski mungkin terlalu ekstrem akan tetapi cukup beralasan.
Pertama, membuat aturan karantina sebagai kewajiban yang dibarengi dengan kewajiban membayar hotel berharga Rp 8,5 juta ke atas adalah pemerasan atau pemaksaan kepada rakyat. Kecurigaan permainan bisnis perhotelan harus diklarifikasi. Termasuk mafia yang ikut terlibat.
Kedua, beratnya pendatang untuk memasuki ”neraka” karantina dapat menjadi bumerang bagi bisnis pariwisata dan penerbangan luar negeri Indonesia. Garuda yang megap-megap karena utang akan semakin terpuruk dengan kebijakan ini. Karantina 10 hari bukan waktu yang menyenangkan.
Ketiga, penuhnya karantina gratis terbukti telah menelantarkan khususnya TKI. Keresahan yang terjadi adalah gambaran dari terjadinya pelanggaran HAM berdalih penanganan kesehatan. Semestinya semua kebijakan yang memberatkan harus berdasar undang-undang bukan Permen apalagi sekadar Surat Edaran.
Penanganan acak-acakan sulit untuk ditoleransi. Apalagi jika mindset para pengambil kebijakan itu adalah ”bisnis”. Kasus test PCR yang menguap perlahan mendorong keberanian untuk melakukan bisnis lanjutan. Jika tidak dicegah maka kejahatan kesehatan akan semakin menjadi-jadi. (*)
Bandung, 22 Desember 2021
Editor Sugeng Purwanto