PWMU.CO– Irfan Nugroho, Ketua Umum IPM dua periode 1996-2000 kini mulai menekuni bisnis ekspor tanaman hias berjalan setahun ini. Pasar Amerika Serikat menjadi peluang pertama yang membuatnya menjadi eksportir.
”Alhamdulillah satu bulan rutin mengirim satu kontainer berisi satu juta tanaman hias senilai Rp 1 miliar,” kata Muhammad Irfan Nugroho saat berbincang di Jakarta pekan lalu.
Tanaman hias yang dikirim dari famili Araceae seperti aneka jenis dan warna sri rejeki (aglonema), kuping gajah (philodendron, caladium, anthurium), lidah mertua (sansivera).
”Di Amerika tanaman ini lagi booming untuk hiasan rumah dan kantor. Juga bermanfaat sebagai anti polutan,” jelasnya.
Untuk memasok kebutuhan tanaman hias ini, sambung dia, bekerja sama dengan petani tanaman di Bogor. Dia punya Yayasan Pelita Desa yang membina 103 petani yang diajari menanam Araceae.
”Dari petani saya membeli tanaman itu Rp 35 ribu, di Amerika saya jual 35 dolar AS,” kata Irfan. Kalau kurs 1 dolar AS sama dengan Rp 14.000 maka 35 dolar senilai Rp 490 ribu.
Irfan Nugroho menjelaskan, Pelita Desa di Bogor semula usaha outbound. Ketika pandemi Covid-19 merebak, outbound sepi. Kemudian dia beralih bertani tanaman hias setelah melihat peluang bisnisnya masih besar.
”Di Indonesia orang menyukai tanaman itu tergantung tren, sehingga satu waktu satu tanaman harganya mahal hingga jutaan, tren berlalu harganya anjlok. Di Amerika hobi tanaman hias itu stabil. Tanaman gelombang cinta yang di sini sudah gak ada harganya di sana masih disukai,” cerita dia.
Dia menuturkan, peluang jadi eksportir tanaman hias ini bermula dari ikut pameran International Floriculture Expo 2021 di Florida tanggal 16-18 September 2021. Empat orang dari Pelita Desa yang ikut. Di sana bertemu dengan rekan bisnis yang butuh tanaman famili Araceae yang warnanya bermacam-macam dan indah.
”Di AS membudidayakan tanaman ini susah karena ada empat musim. Di Indonesia yang tropis bisa sepanjang tahun. Saya sanggupi memasok tanaman itu tiap bulan. Rekan bisnis saya itu tinggal di Houston. Jadi tanaman ini dipasarkan di Houston,” ujar Irfan yang asal Yogyakarta kini tinggal di Depok.
Tanaman tropis ini gampang beradaptasi dengan musim di Negeri Paman Sam yang empat musim. Habitat tanaman ini bisa hidup di tempat-tempat terlindungi dengan intensitas cahaya yang rendah. Karena itu cocok untuk hiasan dalam rumah.
Pemberdayaan Petani
Dia bersyukur peluang bisnis ini bisa menghidupi petani tanaman hias di Bogor yang nasibnya juga terpuruk karena pandemi covid. Mereka ada yang membangun green house kecil atau di teras rumah. Lalu Pelita Desa mengajari cara budi daya tanaman.
”Saya juga menjajaki kerja sama dengan Universitas Muhammadiyah Sidoarjo (Umsida) yang punya kebun untuk budi daya,” katanya.
Di Pelita Desa, petani diberi indukan tanaman hias. Satu batang indukan dalam empat bulan tumbuh memanjang lalu dipropagasi (dipotong) menjadi empat bagian untuk ditanam terpisah.
Petani menyimpan dua potong tanaman untuk dikembangkan, sedangkan dua potong dijual ke Koperasi Pelita Desa dengan harga Rp 35 ribu tiap tanaman.
Kalau petani sudah berhasil mengembangkan hingga ratusan batang bisa mendapat penghasilan jutaan tiap bulan.
Seiring meningkatnya penghasilan petani, Pelita Desa mengajari menabung, berinfak, dan berzakat. ”Mereka yang semula mustahiq, diharapkan berubah menjadi muzaki sehingga kesejahteraan merata ke masyarakat,” tandas Irfan.
Market size global tanaman hias sangat besar. Nilainya mencapai Rp 10.000 triliun rupiah. Ini 2,5 kali lipat pangsa pasar kopi dan teh digabung menjadi satu. Market share Indonesia di pasar tanaman hias global hanya 0,08 persen. Masih kalah dengan Belanda, Turki, Malaysia, Thailand, Vietnam.
Menurut Irfan, kalau bisa memenuhi permintaan pasar global ini sudah terbayangkan kemakmuran petani tanaman hias dari ekspor. (*)
Penulis/Editor Sugeng Purwanto