Fragmen Berkelas
Pada 1960, Muhammadiyah heboh, saat Moelyadi Djoyomartono (aktivis Muhammadiyah) diangkat Soekarno menjadi Menteri Sosial. Pasti heboh, sebab saat itu hubungan Muhammadiyah dengan Soekarno sedang memburuk menyusul pembubaran Masyumi.
Situasi menjadi panas, sikap pro dan kontra mengemuka. Di satu sisi Farid Ma’ruf mendukung Moelyadi Djoyomartono menerima jabatan Menteri Sosial itu. Sementara, di “seberang” adalah anggota perserikatan Muhammadiyah yang tidak setuju karena menganggap bahwa dengan hal itu Muhammadiyah menyerah di hadapan Soekarno. Hamka, ada di barisan ini.
Pro-kontra memuncak saat Hamka menulis di harian Abadi. Judulnya, “Maka Pecahlah Muhammadiyah”. Di tulisan itu, kata Hamka, ada dua golongan dalam Pimpinan Pusat Muhammadiyah yaitu golongan istana dan luar istana. Hamka menyebut Farid Ma’ruf sebagai golongan istana karena berusaha membawa Muhammadiyah ke Istana.
Akibat tulisan itu luar biasa. Sebagian besar warga Muhammadiyah menyudutkan Farid Ma’ruf dan Moelyadi Djoyomartono.
Beberapa waktu kemudian berlangsung Sidang Tanwir di Gedung Muhammadiyah Yogyakarta. Materi pro-kontra itu masuk agenda kegiatan.
Hamka dipersilakan ke mimbar untuk lebih menjelaskan sikapnya. Di mimbar, Hamka berdiri tenang. Tiba-tiba, dia menangis. Dengan suara tersendat, Hamka mengakui, bahwa semua yang dia tulis di harian Abadi bermaksud baik, didorong oleh cintanya kepada Muhammadiyah. Namun, jika tulisan itu menyinggung perasaan Farid Ma’ruf yang sangat dicintainya, Hamka menyatakan sangat menyesal Dia mohon maaf kepada Farid Ma’ruf.
Selanjutnya, giliran Farid Ma’ruf ke mimbar. Dia membawa map berisi berkas-berkas yang diperlukan karena mengira Hamka akan menyerangnya secara telak. Map yang dibawanya adalah “amunisi” melawan Hamka.
Ternyata, situasi tidak seperti yang dibayangkan Farid Ma’ruf. Di mimbar, dia terdiam lama. Bagi dia, sikap Hamka sama sekali tidak diduganya.
Lalu, dengan tenang Farid Ma’ruf menyatakan, bahwa kesediaan Moelyadi Djoyomartono menerima jabatan Menteri Sosial dilandasi niat baik demi Muhammadiyah, untuk membantu amal sosial Muhammadiyah. Lebih lanjut, hemat Farid Ma’ruf, kondisi ketika itu masih memerlukan adanya kerjasama Muhammadiyah dengan Pemerintah.
Menurut Farid Ma’ruf, perbedaan antara dia dengan Hamka sama-sama didorong niat baik. Namun, jika pendiriannya dinyatakan salah dan menyulitkan posisi Muhammadiyah, maka kata Farid Ma’ruf: “Dengan ikhlas saya mengundurkan diri dari Pimpinan Pusat ….”
Belum selesai kalimat itu diucapkan Farid Ma’ruf, Hamka berdiri dan menginterupsi: “Pimpinan, jangan Saudara Farid mundur. Kita sangat membutuhkan dia. Saya, Hamka, yang harus mundur.”
Mendengar itu, Farid Ma’ruf menghentikan pembicaraannya dan turun dari mimbar menuju Hamka. Hamka pun menyongsong Farid Ma’ruf. Keduanya lalu berpelukan disertai linangan air mata haru.
Semua yang hadir tertegun. Lalu, refleks mereka mengucapkan hamdalah. Sebagian lagi, ada yang menggemakan takbir: Allahu Akbar!
Sosok Inspiratif
Perjuangan Farid Ma’ruf dalam membela negara diakui pemerintah. Hal itu, tercermin antara lain lewat sejumlah penghargaan yang diberikan kepadanya.
Ulama Muhammadiyah itu mendapat Satyalencana Peristiwa Perang Kemerdekaan I dan II. Juga, memperoleh Satyalencana Karya Satya Klas II.
Farid Ma’ruf wafat pada 6 Agustus 1976 di Jakarta. Saat meninggal, Farid Ma’ruf masih sebagai Penasihat Pimpinan Pusat Muhammadiyah. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni