PWMU.CO – Korupsi itu maksiat politik, demikian yang disampaikan Dr H M Busyro Muqoddas dalam Kajian Ahad Pagi ke-III PDM Sidoarjo, Ahad (16/1/22).
Dalam kajian yang dihadiri para Pimpinan Ranting, Cabang, AUM, Ortom dan kader Muhammadiyah se-Sidoarjo yang memenuhi lantai satu dan dua Masjid An-Nur, tersebut Wakil Ketua KPK 2010-2015 itu membawakan materi berjudul “Jiwa Tenang menuju Negeri Rendah Korupsi”.
Korupsi itu Maksiat Politik
Mengapa mengangkat judul tersebut? Menurut Ketua Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah itu, jiwa yang tenang yang dimiliki siapapun, termasuk umat Islam, tidak mungkin lalu berlaku maksiat. “Korupsi itu maksiat politik. Apa itu maksiat politik? Karena yang melakukan adalah pejabat-pejabat politik dan pejabat pemerintah,” ujarnya.
Menurut Busyro, tidak mungkin korupsi itu tidak dilakukan oleh orang-orang yang sedang menjabat pemerintahan daerah sampai pusat. “Maka dalam undang-undang (UU) Korupsi itu menyebut, salah satu unsurnya adalah dilakukan oleh pejabat atau penyelenggara negara, termasuk pemerintah. Itulah kemaksiatan politik,” jelasnya.
Mengapa muncul kemaksiatan politik? Dalam data yang dilampirkan Busyro menggambarkan fakta, yang faktanya diambil dari kantor KPK mulai tahun 2004 sampai tahun 2019.
“Nah, di sana ada angka-angka pelaku kemaksiatan politik, seluruh Indonesia. Mengapa ada angka-angka seperti itu, mulai dari kapan? Mulai dari 2004-2019. Dua periode Pak SBY sampai satu periode Pak Jokowi 2014-2019,” ungkapnya.
Episentrum Kejahatan Politik
Busyro menyebut korupsi sebagai penjahat dan perampok kekayaan negara. “Bahasa saya seperti itu, karena bahasa korupsi itu bahasa politik dan hukum, yang kalau dijelaskan dengan bahasa sedehana, korupsi itu kejahatan, perampokan harta negara, yang sesungguhnya itu harta rakyat yang harus dikuasai oleh negara dan diurus oleh negara, tapi untuk sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat Indonesia. Nah, kalau angka-angka kelakuan korupsi ini untuk kemakmuran para pejabatnya,” jlentrehnya.
Angka 305 yang ada dalam file Busyro Muqoddas adalah yang paling banyak dan dilakukan pusat pemerintahan. Episentrum kejahatan politik itu tetap di Jakarta. “Mengapa angka-angka korupsi itu muncul? Jawabannya banyak, tapi saya singkat. Singkatnya adalah adanya pelanggaran agama Islam, Pancasila, terutama sila pertama yang akibatnya adalah sila ke lima,” paparnya.
Sila pertama itu adalah Ketuhanan Yang Maha Esa, yang isinya adalah agama-agama yang ada di Indonesia, yang Alhamdulillah mayoritas adalah umat Islam. “Jadi Pancasila itu tidak dapat dipisahkan dari agama. Kalau ada yang ingin memisahkan agama dari Pancasila itulah aslinya anti-Pancasila. Yang jumlahnya tidak banyak, tapi buanyak sekali,” ujarnya dijawab geerr oleh hadirin.
Menurut Busyro, perampokan harta negara oleh pusat pemerintahan yang ada dilakukan di Jakarta itu berdampak destruktif ke daerah-daerah. Apa hubungannya?
“Karena ini disebabkan oleh proses-proses politik, terutama pemilu dan pilkada-pilkada. Saya hitung sejak 2004-2019. Ada total 2434 jumlah kasus korupsi yang terjadi dari 2019-2020 se-Indonesia, yang diambil dari data Indonesia Corruption Watch (ICW),” kata dia.
Singkatnya adalah mengapa kasus korupsi itu begitu banyak? Karena pemilihan umum yang ditandai melanggar Pancasila dan agama. “Apa itu? Yakni yang menyuap dan disuap, termasuk calo-calonya itu fin naar, yakni diancam oleh Nabi berada di neraka,” jelas Busyro.
Jadi, lanjutnya, suap itu hukumnya jelas haram. Dan yang haram ini dilanggar di Indonesia melalui setidaknya tiga undang-undang (UU), yakni UU Partai Politik, UU Pemilu, dan UU Pilkada. “Tiga undang-undang inilah yang menyebabkan pemilu kita sampai saat ini tidak mungkin bisa bebas dari praktik suap,” tuturnya.(*)
Penulis Darul Setiawan. Editor Mohammad Nurfatoni.