Nadjib menengarai, kini ada kecenderungan jika seseorang mendapatkan informasi, ingin cepat-cepat langsung disebarkan pada yang lain, tanpa dilihat kebenaran isinya. Ia mencontohkan, jelang bulan Dzulhijjah lalu, beredar postingan tentang anjuran puasa tanggal 1 sampai dengan 10 Dzulhijjah.
“Tanggal 10 Dzulhijjah kan hari raya, masak disuruh puasa?” tanya dia penuh keheranan. Beberapa kali pula ia medapat ralat berita kematian, karena ternyata setelah informasi duka menyebar, yang bersangkutan masih hidup.
(Baca juga: Di Era Perang Informasi, Para Dai Harus Melek Media dan Bagaimana Peran Guru dalam Proses Pembelajaran di Era Informasi Digital?)
Disinyalir, belakangan ini banyak informasi yang bertujuan mengadu domba, terutama di tengah wabah berita tentang Ahok. “Hanya gara-gara beda pandangan dalam menyikapi kasus Ahok, Prof Syafii Maarif, di-bully habis-habisan oleh kader sendiri,” kata Nadjib.
Padahal, tidak ada yang salah dari pernyataan Buya. “Beliau hanya bilang: Ahok sudah minta maaf, tolong diselesaikan dengan baik. Lalu di mana letak salahnya, kok lantas difitnah macam-macam. Sejak kapan kita diajari akhlak Islam seperti itu?” tanya Nadjib dengan nada tinggi.
(Baca juga: Dampak Pemberitaan Wakaf 50 Hektar, Pembaca PWMU.CO Segera Wakafkan Tanah 3 Hektar untuk Muhammadiyah)
Setelah menyebar fitnah untuk Buya, giliran Prof Din Syamsuddin yang difitnah dengan tuduhan aqidahnya tidak benar, gara-gara pernah membolehkan mengucapkan Selamat Natal. Pernyataannya dianggap bertentangan dengan Fatwa MUI. Padahal larangan dalam Fatwa MUI itu terkait Natalan Bersama. “Kita tidak sadar, telah termakan oleh adu domba orang lain,” tandas Nadjib.
“Hati-hati, era informasi telah melahirkan agama baru, yaitu kebebasan. Semua orang bebas mencaci-maki siapa pun, dan menyebarkan fitnah tanpa merasa bersalah,” pesannya. “Sekarang, faham keagamaan apa pun juga gampang disebar. Jika kita tidak cermat dalam memilah dan memilih informasi, kita akan jadi korban,” imbuhnya.
(Baca juga: Menulis di PWMU Hanya dengan SMS ke 081233867797 dan Etika Ber-Medsos Umat Islam Masih Mengkhawatirkan)
Lebih lanjut Nadjib menjelaskan, perkembangan TIK belum diikuti tradisi berkemajuan di tengah masyarakat. “Jika di masa lalu, tradisi gosip dilakukan ibu-ibu sambil petan (mencari kutu rambut, red), kini dipindahkan ke Whatsapp (WA),” tuturnya, disambut tawa hadirin. “Smartphone, yang seharusnya menghasilkan smart society, malah melahirkan gosip society,” sindir dia.
Bagi Nadjib, kemajuan TIK harus dimanfaatkan untuk dakwah. Karena penyebaran dakwah di dunia maya, atau dakwah online jauh lebih efektif dan massif dibanding dakwah konvensional. “Dakwah konvensional tetap perlu, tapi dakwah melalui elektronik harus dipacu lebih optimal. Mengingat, di bidang ini Muhammadiyah dan Aisyiyah sudah ketinggalan jauh dari yang lain,” tuturnya seraya menujukkan kiat-kiat menulis di media online.
(Baca juga: Muhammadiyah Jatim Bangga Punya PWMU.CO dan PWMU.CO Harus Jadi Penghulu Kemajuan)
Pengajian bertajuk “Menjadi Mujahid Cyber” tersebut menjadi kado manis akhir tahun buat Aisyiyah Sidoarjo. Suasana hujan deras tidak mengurangi antusiasme 250 peserta dari daerah dan cabang untuk mengikuti paparan materi yang disampaikan dengan serius, dialogis, dan diiringi humor-humor ringan.
Mereka pun berharap agar acara ini ditindaklanjuti dengan pelatihan teknis jurnalistik di tingkat cabang. Pada akhir paparan, Nadjib berpesan agar semua peserta rajin memublikasikan kegiatannya melalui website pwmu.co, serta nge-klik web tersebut. “Amalan ringan, tapi besar manfaatnya bagi dakwah online adalah klik pwmu.co,” pungkas Nadjib disambut tepuk tangan gemuruh. (Nana/Ana)