Kisah Mengharukan
Peserta lain, Ina dari KB Aisyiyah Dukun, menanyakan tingkatan autisme. Kemudian, dia mengisahkan tiga siswanya. Ketika menceritakan siswa terakhir, Ina tak kuasa menahan air matanya. Siswa itu sulit mengomunikasikan keinginannya dan sering menjambak sekitarnya ketika mau sesuatu.
“Dia minta dipeluk,” imbuhnya. Kalau sudah dipeluk, lanjutnya, siswa itu tampak tenang dan nyaman meski belum bisa mengungkap dengan kata-kata. “Semua ada keistimewaan, semakin saya tatap matanya, saya menangis,” ujarnya terbata-bata. Sebagian peserta lainnya pun tampak berkaca-kaca mendengar kisahnya.
Mendengar itu, Sayyidah menyatakan ikut terharu. Kemudian dia menerangkan derajat keparahan setiap anak autisme beragam. Dia menekankan kembali spektrum autisme, di mana keragaman itu tampak berbeda di aspek komunikasi, interaksi sosial, minat terbatas dan perilaku repetitif, proses sensoris, maupun intelektualnya.
Menurutnya, siswa itu kurang mampu dalam komunikasi. “Berarti (siswa itu) sebatas mampu komunikasi ekspresif, mengomunikasikan keinginannya, dengan bahasa non verbal, menjambak. Belum bisa bilang ‘aku mau ini,” ujarnya.
Terkait sikap tenangnya setelah dipeluk, Sayyidah mengingatkan ada siswa yang memang proses sensorisnya hiposensitif sehingga memerlukan sensasi lebih. “Sensori itu bisa berupa perabaan. Ketika dia butuh menenangkan diri, dia minta dipeluk. Ada penekanan di badannya,” terangnya.
Sharing session siang itu ditutup dengan pemberian apresiasi bagi empat peserta yang aktif bertanya maupun berpendapat. Dua peserta mendapat celengan cantik buatan Komunitas Tuli Gresik (Kotugres) binaan UPT Resource Centre.
Sedangkan dua peserta lainnya mendapat buku karya Sayyidah dan rekan-rekan psikolognya ‘Kiat Pendampingan Belajar Selama Pandemi’ dan buku karya kepala dan wakil Mugeb Schools Learning Strategy in Multiple Intelligence. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni