Debt Collector Bank Thithil oleh Faruq Ahmad Futaqi, Manajer Bankziska Lazismu.
PWMU.CO– Debt collector bank thithil juga bergaya saat menagih utang nasabahnya. Mulai cara halus hingga sangat kasar.
Ini kisah yang diceritakan Setyo Buwono, salah seorang relawan Bankziska yang juga menjadi kamituwo di desanya. Karena itu saya dan teman-teman memanggilnya Pak Wo. Dia membina 60 Mitra Bankziska bersama Pak Budi.
Pak Wo menuturkan, salah satu mitra yang masih terjerat rentenir. Belum lepas sepenuhnya. Tiap hari berurusan dengan tagihan. Tak dikasih kelonggaran. Tiap hari ditunggui debt collector sampai bayar. Pun malam hari.
Tembok rumahnya sampai ditulisi spidol hitam oleh debt collector. Berbunyi Ora Nyaur Bosok. Keesokan harinya tulisan itu dihapus keluarganya. Arti tulisan itu: Tidak Bayar Busuk. Kasar dan boleh jadi masuk kategori kekerasan verbal. Kalimat model begitu sering diucapkan para rentenir saat menagih. Membuat emosi, melukai dan menyakitkan.
Cara menagih seperti ini kerap dilakukan. Intimidasi keji supaya peminjam tak berani. Supaya segera bayar dan melunasi.
Utang memang harus dibayar. Tapi barangkali para rentenir lupa. Bahwa pinjamannya merusak ekonomi. Pinjamannya membuat orang tidak bisa bayar.
Sepertinya menolong tapi sejatinya memukul. Dalam idiom Jawa tulung menthung. Bahkan menthungnya berkali-kali.
Pinjaman rentenir memang sangat menyengsarakan. Dari sistemnya sampai cara menagihnya. Bunganya tinggi, jangkanya pendek. Dalam rasio ekonomi super mikro, tidak mungkin terbayar.
Sayang, masyarakat kecil yang jadi marketnya. Karena golongan ini susah mencari pinjaman. Karena itu saya berkesimpulan dan meyakini hadirnya Bankziska Lazismu bukan lagi kebutuhan, namun wajib. Di tengah kuasa sistem ribawi pada ekonomi kaum alit.
Cash Flow Habis
Ada lagi cerita. Paitun (bukan nama sebenarnya) curhat panjang lebar tentang deritanya. Punya utang rente Rp 10 juta. Guna mengangsur dia harus sediakan minimal Rp 400 ribu setiap hari. Tak ada kelonggaran. Kalau belum dibayar, penagih menunggu sampai malam. Sampai semua tetangganya tahu dan dia dipermalukan.
Suami Paitun buruh pabrik. Dia sendiri jualan plastik. Tokonya sampai harus tutup karena cash flow lari untuk bayar rentenir. Ibarat tinju, tokonya roboh TKO. Habis untuk bayar utang dan bunga rentenir. Sampai-sampai dia jual bagian tanah warisan untuk melunasi utang itu.
Duka lara nestapa juga dialami Mitun (juga nama samaran). Pikirannya kacau kala malam tiba. Ngganjret (buntu) sampai muntah darah saat para serdadu rente datang menagih.
Saya teringat banyak ayat dan hadits nabi. Tentang dosa riba. Yang paling ringan adalah seperti zina pada ibu kandungnya sendiri. Di al-Quran surat al-Baqarah: 275 dinyatakan, pemakan riba sempoyongan gila kerasukan setan.
Pada kenyataannya, pernyataan 14 abad yang lalu itu relevan sampai sekarang. Riba membuat babak belur sempoyongan. Tidak hanya ekonomi, tapi juga diri dan keluarga. (*)
Editor Sugeng Purwanto