Qiyas
Lukman memaparkan, dalam proses pengambilan perumusan qiyas (ijtihad), ada beberpa perdebatan kalangan intern Muhammadiyah. Dia lantas membacakan isinya, “Ketika ada sebuah kondisi setiap kita harus beramal, kemudian dihajatkan, perkara itu bukan masuk dalam konteks ibadah mahdhah.”
“Sedangkan tidak ada nash eksplisit dari Quran dan sunnah yang menjelaskan hukumnya. Maka cara untuk menyimpulkan atau mengetahui hukumnya dengan jalan ijtihad dan istimbat,” lanjutnya.
Di samping Quran dan sunnah, lanjutnya, Muhammadiyah mengembangkan ijtihad menggunakan metodologi yang digunakan ulama salaf.
Luqman menegaskan, Qiyas ini berarti qiyas yang umum dan memiliki dua makna. “Meskipun tema rumusan tersebut tentang qiyas, yang merupakan salah satu dari tiga metode ijtihad, tetapi juga menyebut kata ijtihad dan istinbath yang mengisyaratakan ijtihad secara umum,” jelas dia.
Jadi, ada asumsi pada tarjih yang mengikuti Imam Syafi’i yang tidak membedakan antara qiyas dan ijtihad.
Kemudian dia mengungkap qiyas dalam arti khusus (sempit). “Menyamakan kasus fara’ (cabang) dengan kasus ashl (pokok) dalam illat (causa/sebab/motivator) yang diistinbath dari hukum kasus ashl atau pokok,” ujarnya.
Luqman mencontohkan analogi atau qiyas miras dengan khamr. Ashl adalah khamr, fara’ yaitu segala macam atau merek minuman keras, illatnya memabukkan, dan hukumnya haram.
Baca sambungan di halaman 3: Ijtihad di Muhammadiyah