PWMU.CO– Film Layangan Putus satu web seri Indonesia sedang ramai diperbincangkan belakangan ini. Mengangkat kisah perselingkuhan. Potongan adegan serial film ini menjadi viral di berbagai media sosial. Seperti adegan pertengkaran suami istri. Film ini bisa diakses di Youtube.
Viralnya film itu, menurut dosen sosiologi Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Luluk Dwi Kumalasari SSos MSi, viralnya film Layangan Putus membawa beberapa dampak dalam kehidupan masyarakat.
Luluk, sapaan akrabnya menjelaskan, viralnya serial ini tak hanya memengaruhi kalangan dewasa tapi juga anak-anak. Terpaparnya anak-anak terhadap konten film yang berisi pertengkaran dan perselingkuhan berdampak negatif bagi pola pikir mereka.
Anak-anak, kata dia, jadi mengenal perselingkuhan, perceraian, dan ketidakharmonisan pada keluarga di usia yang masih sangat muda.
”Sebenarnya series ini sudah dibatasi dari anak kecil melalui sarana konten berbayar dan imbauan tentang penonton berusia 17 tahun ke atas. Namun viralnya cuplikan film Layangan Putus di beberapa media sosial dan Instagram membuka akses bagi anak-anak untuk menonton,” tutur Kepala Program Studi (Prodi) Sosiologi tersebut.
Melihat hal tersebut, sambung dia, sebagai orangtua harus memberikan pemahaman kepada anak terkait perselingkuhan maupun perceraian. Orang tua juga bisa turut membatasi konten dengan menggunakan fitur Tiktok kids,” ungkap dia.
Dampak lain yang menerpa adalah kekhawatiran pasangan melakukan perselingkuhan seperti yang diceritakan dalam film. Luluk menambahkan, realitas mengenai perselingkuhan dan perceraian adalah fenomena lama yang sudah sering terjadi.
Hal ini juga berbanding lurus dengan budaya patriarki di Indonesia. Ketika telah memiliki banyak uang dan kekuasaan, maka laki-laki cenderung merasa berkuasa dan leluasa untuk mengelola, mengatur serta memainkan sistem. Termasuk sistem keluarga, sehingga salah satu hal yang mungkin dilakukan adalah bermain wanita.
”Untuk meredam kekhawatiran tersebut, masing-masing pasangan harus menyadari hak dan kewajiban di rumah tangga. Saya percaya jika masing-masing pasangan telah melakukan hak dan kewajibannya secara benar maka kekhawatiran dan potensi untuk berselingkuh akan menghilang. Selain itu menumbuhkan kepercayaan antar pasangan juga dapat melawan kekhawatiran,” kata dosen kelahiran Jombang itu.
Tapi kata dia, film ini juga memberikan pembelajaran yang bagus bagi pasangan suami istri. Salah satunya adalah mengenali tanda-tanda perselingkuhan dan cara menghadapinya.
Selama ini beberapa wanita tidak ingin melakukan perceraian ketika mengalami kasus perselingkuhan atau Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Hal itu tidak lepas penyematan status janda yang dianggap buruk oleh masyarakat.
”Saya paham alasan bercerai atau tidak itu sangat personal, entah karena anak ataupun karena percaya bahwa pasangan akan berubah. Namun ketika alasannya adalah karena janda merupakan sesuatu buruk, film Layangan Putus telah mematahkan pendapat tersebut,” pungkasnya. (*)
Penulis Maharina Novi Editor Sugeng Purwanto