Setelah Mantri Guru Soedirman Wafat, Negara Berangsur Sakit, kolom oleh Prima Mari Kristanto, aktivis Muhammadiyah tinggal di Lamongan.
PWMU.CO – Tanggal 29 Januari 1950 petang, tepat 72 tahun yang lalu bangsa Indonesia kehilangan salah satu guru bangsa yang memberi pelajaran penting tentang menegakkan harga diri bangsa.
Allah Azza wa Jalla memanggil pulang mantri guru Panglima Besar Jenderal Soedirman di waktu yang tepat. Tidak terlalu cepat, juga tidak terlalu lambat. Bukan musuh, bukan juga karena sakitnya yang semakin parah, tetapi karena tugasnya sebagai salah satu khailifah di bumi telah selesai menurut kehendak Sang Khalik.
Menurut para pengawalnya, sang mantri guru pernah mengutarakan cita-citanya untuk mengajukan pensiun setelah penyerahan kedaulatan dan pengakuan kemerdekaan.
Harapan yang didengar Allah Azza wa Jalla. Keinginan pensiun tersebut terwujud satu bulan setelah penyerahan kedaulatan tanggal 27 Desember 1949 dari pihak Kerajaan Belanda yang diterima perwakilan Indonesia Mohammad Hatta di Den Haag dan Sri Sultan Hamengkubuwono IX di Jakarta.
Trisula Pejuang Kedaulatan
Tanpa menutup mata peran tokoh bangsa lainnya, Sri Sultan, Mohammad Hatta, dan Jenderal Soedirman laksana trisula yang menjadi ujung tombak dalam proses penyerahan kedaulatan dari kerajaan Belanda setelah Agresi Militer 1948 dan Konferensi Meja Bundar 1949.
Siasat gerilya yang dilakukan mantri guru Soedirman terbukti efektif memaksa kerajaan Belanda melakukan perundingan, menghormati delegasi Konferensi Meja Bundar Indonesia yang dipimpin Mohammad Hatta hingga bersedia menyerahkan kedaulatan.
Mohammad Hatta dan Sri Sultan dikenal sebagai karib dekat Jenderal Soedirman. Mohammad Hatta mengembalikan posisi jabatan Jenderal Sudirman sebagai Panglima Besar ketika menjabat Perdana Menteri pada Januari 1948, setelah sebelumnya jabatan Jenderal Soedirman diturunkan menjadi Panglima Angkatan Perang Mobil oleh Perdana Menteri Amir Sjarifuddin.
Sebagai Panglima Angkatan Perang, Perdana Menteri Amir Sjarifuddin mengangkat Komodor Suryadarma. Sedangkan Sri Sultan adalah sosok yang menjamin kehidupan dan keselamatan keluarga Jenderal Soedirman selama perang gerilya, dengan memberikan tempat tinggal di dalam lingkungan keraton Ngayogyakarta Hadiningrat pada istri dan putra-putri Jenderal Soedirman.
Mohammad Hatta yang membawakan obat dari Belanda untuk mantri guru Soedirman sekembali dari Konferensi Meja Bundar tidak sempat bertemu hingga menerima kabar duka berpulangnya sahabat karib dalam perjuangan. Sebagai inspektur upacara pemakaman sang mantri guru pada 30 Januari 1950, Mohammad Hatta menyampaikan amanatnya bergantian dengan Sri Sultan Hamengkubuwono ke IX.
Mohammad Hatta mengingatkan pesan Jenderal Soedirman yang sangat penting yaitu “Tentara adalah alat negara. Tentara tidak berpolitik, politik tentara adalah politik negara.”
Sri Sultan menyampaikan pandangannya tentang Jenderal Soedirman yang telah memberikan sifat dan arah yang baik kepada Angkatan Perang Indonesia, yakni Angkatan Perang adalah Pelindung Rakyat dan Abdi Rakyat. Presiden Soekarno tidak bisa hadir kerena sedang melakukan lawatan ke luar negeri.
Tidak berlebihan kiranya tentang isi amanat Mohammad Hatta dan Sri Sultan agar seluruh elemen bangsa khususnya tentara meneladani dan memegang pesan-pesan Jenderal Soedirman. Tidak berlebihan pula jika Jenderal Soedirman disebut sebagai pemersatu bangsa dan pemersatu tentara.
Setidaknya terlihat dalam perjalanan bangsa setelah penyerahan kedaulatan 1949 yang hanya sebentar menikmati bulan madu persatuan kesatuan dengan kesepakatan kembali menjadi NKRI pada 17 Agustus 1950 setelah sebelumnya berbentuk RIS (Republik Indonesia Serikat).
Baca sambungan di halaman 2: PKI Benih Perpecahan