PKI Benih Perpecahan
Benih perpecahan terjadi setelah PKI direhabilitasi dan boleh kembali melakukan aktivitasnya meskipun baru saja melakukan upaya kudeta di Madiun 1948. Kondisi penuh persaingan antar partai politik mencapai puncaknya pada pemilihan umum pertama 1955 untuk memilih anggota DPR dan konstituante.
Kondisi pemerintahan yang tidak kondusif mengakibatkan munculnya ketidakpuasan pada sejumlah daerah ditandai munculnya pemberontakan-pemberontakan. Pengunduran diri Mohammad Hatta sebagai Wakil Presiden pada tahun 1956 dan keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 menyebabkan demokrasi yang baru seumur jagung dipegang satu Presiden saja sampai insiden berdarah 1965.
Insiden berdarah 1965 berikutnya menjadi jalan pergantian rezim dari Orde Lama ke Orde Baru yang didukung tentara. Nama Jenderal Soedirman khususnya semangat juang beliau “di-branding” selama masa pemerintahan Orde Baru dengan menjadikannya sebagai nama-nama jalan protokol di seluruh kabupaten dan kota Indonesia.
Di Jakarta sendiri nama Jenderal Soedirman menjadi nama kawasan bisnis yang strategis dan balai pertemuan. Di Purwokerto nama Jenderal Soedirman diabadikan menjadi Universitas Negeri dan bandar udara. Tidak ketinggalan persyarikatan Muhammadiyah juga ikut mengabadikan nama Jenderal Soedirman menjadi nama masjid dan beberapa amal usaha.
Orde Baru yang awalnya memberi harapan baru dengan didukung unsur TNI di segala bidang lambat laun meredup setelah berkuasa selama 30 tahun. Ketika militer disudutkan di era reformasi karena dianggap sebagai penopang utama kekusaan Orde Baru, nama Jenderal Soedirman sebagai Bapak Tentara ikut meredup.
Letnan Jenderal Tjokropranolo yang waktu menjadi pengawal setia Jenderal Soedirman selama perang gerilya berpangkat kapten menuliskan syair yang indah sebagai berikut: “Betapa harumnya sekuntum bunga ada batasnya, namun harumnya jasa seorang pahlawan tiada batasnya.”
Kewajiban bangsa yang besar untuk menghormati jasa pahlawan, mujahid, syuhada, juga meneladani serta mengamalkan semangat juang mantri guru Soedirman dalam menjalani kehidupan era milenial sekarang, khususnya bagi warga persyarikatan.
Menghormati dan meneladani bukan mengkultuskan dengan menganggap tokoh tertentu sebagai manusia setengah dewa misalnya. Warga Persyarikatan sudah pasti memahami perbedaan menghormati tokoh muslim dengan mengkultuskan. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni