Mubalighat Cengengesan
Peserta lainnya, Nur Laila dari PRNA Suci, utusan PCA Manyar, bertanya, “Kadang di lapangan banyak kita jumpai mubalighat yang kesannya selengekan, terlalu banyak guyonnya, menurut Ibu bagaimana?”
Faridah memaklumi, jamaah sekarang lebih senang jika diselingi dengan gurauan. “Itu yang mendengarkan banyak. Apalagi kalau sudah menyangkut laki-laki dan perempuan, luar biasa tertawanya,” ungkapnya.
Kalau ada yang seperti itu, dia berkomentar, “Saya kira itu sudah melenceng dari tujuan dakwah semula, meluruskan sesuatu yang melenceng. Itu kurang pas.”
Dia yakin mubaligh Muhammadiyah tidak ada yang cengengesan atau selengekan. Menurutnya, sikap cengengesan itu bukan berarti yang bersangkutan tidak mengetahuinya. Hanya saja, karena massa terlanjur mengenal karakter yang bersangkutan demikian, maka tetap lanjut dengan cengengesannya.
Akhirnya, dia menyimpulkan, “Saudara kita memang macam-macam walau sesama Islam.”
Bukan Lulusan Pondok
Pertanyaan terkahir datang dari utusan PDNA Gresik Maftuchatus Saidah SPd. “Kita tidak punya basic dari pondok. Ketika kita menyampaikan sesuatu apalagi yang berurusan dengan dalil, takutnya apa yang kita sampaikan kurang benar,” kisahnya.
Dia lantas meminta tips untuk meyakinkan diri sendiri agar lebih yakin menjadi mubalighat meski tidak berlatar belakang dari pondok pesantren.
“Orang itu, kalau ada jahadu, itu lanahdiyannahum subulana!” tutur Faridah mencatut ayat 69 QS al-Ankabut.
وَالَّذِيْنَ جَاهَدُوْا فِيْنَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَاۗ وَاِنَّ اللّٰهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِيْنَ
Yang artinya: “Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridaan) Kami, Kami akan tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sungguh, Allah beserta orang-orang yang berbuat baik.”
Kalau kita bersungguh-sungguh, lanjutnya, Allah memberikan jalan. “Man jadda wa jadda! Di situ ada kemauan, di situ ada jalan!” tegasnya memotivasi. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni