Pola Toxic dalam Pengasuhan?
Devi Sani Rezki mengawali materi dengan mengenalkan pola pengasuhan yang tanpa kita sadari ternyata toxic (beracun) bagi anak.
“Pola pengasuhan toxic itu adalah pola-pola atau kebiasaan yang bisa menghambat perkembangan anak kita baik aspek kognitif, emosi, sosial, motorik, dan fisik serta spiritual,” jelasnya saat membuka materi.
Devi mengatakan bahwa tanpa disadari, orangtua maupun pendidik seringkali melakukan pola toxic ini.
“Kita sedikit banyak melakukan pola toxic ini, tapi berita baiknya, pola toxic ini kalau tidak dilakukan terlalu sering, akan hilang toxic-nya, tapi kalau dilakukan terus-menerus setiap hari secara kontinu, inilah yang akan mempengaruhi ke anak,” ujarnya.
Tanda-Tanda Pola Toxic Parenting
Saat menyampaikan materi, Devi, panggilan akrabnya, memaparkan sembilan tanda-tanda pola toxic parenting yang sering dialami oleh anak-anak.
Pertama, orangtua secara konsisten selalu mengingatkan akan kekurangan anak. Yang menjadi fokus hanyalah kesalahan atau kekurangan anak, tanpa mengapresiasi kelebihannya.
“Misalnya paling sering terjadi ketika belajar online , biasanya kita tegur anak, perhatiin dong layarnya. Mungkin sepertinya dia tidak melihat, tapi bisa jadi anak itu mendengarkan. Kita saja yang sudah dewasa kadang kalau melihat layar terlalu lama juga bosan, kudu lihat yang lain dulu. Nah itu kita selalu ngasih label yang kurang baik pada anak, “aduh ga perhatiin banget sih”, lalu kita ngomong sekolah bayar mahal-mahal malah ndak diperhatikan,” ujar alumnus Universitas Indonesia ini.
Kedua, orangtua selalu merasa menjadi korban dari perilaku anak yang dianggap negatif.
“Contohnya bilang, kamu siih, coba kalo kamu lebih pinter, mama pasti ndak marahin kamu. Itu sepertinya sepele ya, tapi ini sangat sering terjadi dan membekas di hati anak-anak,” jelasnya.
Ketiga, mempermalukan anak di depan umum. Sengaja menghancurkan kredibilitas anak di depan umum agar tidak ada yang percaya pada anak.
“Emang ada orang tua seperti itu? Ada. Saya ada kisah nyata ini, sang istri mencoba agar bagaimana si anak jangan berhubungan baik dengan sang ayah karena si istri ini cemburu,” papar Devi, panggilan akrabnya.
Keempat, orangtua jarang mau mengakui kesalahan atau kekurangannya dan sangat agresif ketika dikritik.
“Di Indonesia kan budaya nggak enakan, jadi kadang kalo uda bikin salah langsung bersikap biasa aja tanpa ada kata maaf. Dalam jangka panjang, apalagi setelah kita membentak anak, mendjuge salah, seakan-akan tidak ada permintaan maaf. Jadinya ini anak-anak juga menggampangkan saat berbuat salah karena meniru orang tuanya,” ujar Devi di hadapan para wali siswa.
Baca sambungan di halaman 3: Anak Favorit dan Kabing Hitam