Semua Manusia Setara
Di hadapan manusia saja (misal pimpinan), kata UAH, di antara kita ada yang merendah dengan berjalan sambil membungkuk. Maka dengan menghadirkan khusuk saat shalat, Allah menegaskan masih ada Yang Maha.
Semua manusia setara di hadapan Allah, semua abdu. “Jabatan sosial dalam kehidupan tidak akan mempengaruhi sifat penghambaan kepada Allah. Anda punya jabatan penting di dunia, harta paling banyak, ilmu paling luhur, di hadapan Allah semua khudhuk wa dhillat: sujudnya sama,” terangnya.
Dia mencontohkan, “Tidak ada presiden sujudnya setengah dari keningnya atau yang hartanya paling banyak sujudnya setengah rukuk, tidak ada!”
Posisi tertinggi hamba di hadapan Allah justru saat hambanya merendah: bersujud.
“Ketika seseorang mampu menghambakan atau menghinakan diri di hadapan Rabbnya serendah-rendahnya, maka feedbak yang diberi Allah adalah mengangkat dia setinggi-tingginya. Diangkat statusnya!”
Sebaliknya, jika tidak mau sujud dengan khusuk di dunia, maka akan Allah pamerkan itu di akhirat kepada semua hamba-Nya. “Mereka itu ketika di dunia, dipaksa sujud nggak mau karena merasa sejahtera hidupnya, hebat dengan kedudukan, mewah dengan harta benda!” ujarnya memberi gambaran.
Tenang Tentramkan Jiwa
Ketiga, sukun. Yaitu tenang yang mengarah pada ketenteraman jiwa. Ini merujuk pada bagian tengah hingga ujung QS Taha ayat 108.
يَوۡمَٮِٕذٍ يَّتَّبِعُوۡنَ الدَّاعِىَ لَا عِوَجَ لَهٗؕ وَخَشَعَتِ الۡاَصۡوَاتُ لِلرَّحۡمٰنِ فَلَا تَسۡمَعُ اِلَّا هَمۡسًا
Dari ayat di atas, UAH menerangkan, pada saat semua dibangkitkan dalam kubur, semua bangun dan mengikuti seruan. “Lurus ikuti semua seruan itu. Semua tenang sekali,” jelas dia.
Lalu dia menggambarkan, sikap sukun ini seperti halnya pohon yang tenang usai angin yang menerpanya pergi.
Dia menyimpulkan, “Jika ketiganya disatukan, maka khusuk bermakna sikap menghambakan diri serendah-rendahnya dan menghinakan keadaan kita di hadapan Allah sehingga dengan itu melahirkan ketenangan dan ketentraman di dalam jiwa.”
Khusuk yang sudah di dalam jiwa, melahirkan ketentraman dan kedamaian sehingga pancaran itu terasa dalam tubuh. “Ada kenikmatan, nyaman, nanti puncaknya dia menangis!” tuturnya.
Selain itu, ada pula yang merasakan sensasi tersendiri dalam jiwanya. Dia mengungkap, “Karena kekhusukan yang melekat dalam qalbu (iman) akan dipancarkan dalam semua bagian tubuh.” (*)
Editor Mohammad Nurfatoni