In Memoriam Zainul Muhtadien (1966–2022): Kenangan Bersama Papaku oleh Atika Almira, putri pertama Zainul Muhtadien.
PWMU.CO– Pagi ini langit saya runtuh. Saya tidak tahu respon apa yang harus muncul saat mendengar kabar yang sama sekali tak saya duga: Papa kami, Zainul Muhtadien, meninggal Sabtu Subuh (5/2/2022) di Sidoarjo, di rumah kakaknya, Zainul Muslimin, Ketua Lazismu Jawa Timur.
Langit saya runtuh. Dunia saya rasanya tak lagi utuh, dan saya hanya bisa diam terpaku. Baru beberapa saat kemudian saya bisa menangis di pelukan suami, seraya menyadari bahwa setelah ini kehidupan keluarga kami tidak akan sama lagi.
Sampai saya menuliskan ini semua, rasanya masih ada lubang yang sangat besar di hati saya yang tidak bisa saya jelaskan. Saya sedih, sampai meskipun mata sudah memerah karena habis bolak-balik dipakai menangis. Kantung air mata saya tidak berhenti berproduksi apabila mengingat sesuatu tentang Papa.
Saya kecewa –ampuni saya ya Allah. Saya kecewa karena saya tidak berada di sisinya saat dipanggil Allah. Saya kebingungan mencari cara untuk menguatkan diri sendiri. Sebagaimana yang selalu saya lakukan ketika keluarga kami diuji: saya tahu saya harus bisa jadi yang cukup kuat untuk bisa menguatkan orangtua dan juga adik-adik saya.
Samar-samar ada juga perasaan bangga. Saya bangga darah beliau mengalir di diri saya. Saya bangga dibesarkan oleh seorang Papa yang begitu istimewa. Saya bersyukur bahwa beliau dipanggil Allah ketika sedang dalam safar, dalam rangka memikirkan umat. Semoga Allah hitung langkahnya sebagai jihad.
Semua perasaan ini bergumul dalam waktu beberapa jam saja, sampai-sampai saya tidak tahu bagaimana caranya memproses duka. Satu hal yang saya tahu: Saya harus menulis. Setiap orang punya cara untuk memproses kesedihan dan mungkin inilah cara terbaik bagi saya.
Dibanding menangis sampai air mata terperas habis, lebih baik saya menulis sampai air mata saya kering. Sepertinya Papa akan lebih senang apabila saya mengenang seluruh hal baik yang pernah kami punya sebagai sebuah keluarga, dibanding mendapati anaknya tenggelam dalam sedihnya sendiri.
*
Tidak semua anak seberuntung saya. Memiliki Papa yang hadir secara utuh sebagai ayah sekaligus teman yang istimewa.
Saya masih ingat momen-momen di mana Papa mengantar kami ke sekolah–terutama kalau kami kesiangan, dan juga menjemput kami di akhir pekan. Meski Papa sibuk bekerja di hari Senin-Jumat, saya tidak akan pernah lupa bahwa Papa tetap punya waktu untuk kami. Di hari Sabtu, Papa akan menjemput kami dari sekolah. Mampir untuk makan siang di MM Juice. Kemudian bersama-sama menjemput Mama ke tempat kerjanya.
Saya juga sangat bersyukur punya orang tua yang mendukung setiap anaknya dengan optimal, tanpa pernah memaksa. Orang tua mana lagi yang membawa anaknya ke psikolog secara berkala untuk konsultasi potensi anaknya. Mengarahkan sesuai minat. Mengantar les ini-itu tanpa sopir pribadi. Mengantar lomba ke sana kemari, dan menjadi bagian dari setiap langkah anak-anaknya. Guru-guru dan teman-teman kami menjadi saksi atas itu semua.
Saya juga tidak mungkin lupa dengan berbagai pertanyaan yang Papa lontarkan di kehidupan sehari-hari sampai saya ada di titik ini. Dari Papa saya belajar bahwa dua hal yang bisa kita lakukan untuk mendidik pola pikir anak adalah mendekatkannya dengan ilmu melalui membaca dan memancing diskusi lewat berbagai pertanyaan.
Saya ingat Papa tidak pernah protes ketika anaknya tidak tahu diri kalau pergi ke Gramedia: Saya bisa ambil 12 buku sekaligus. Besok-besok tentu saya akan kangen pertanyaan Papa soal ”Jadi gimana sebetulnya kebijakan perumahan yang paling optimal?”, ”Apa porsi terbesar dari perekonomian Belanda?”, dan berbagai pertanyaan lain yang kadang bikin saya bingung harus dari mana mulai jawabnya.
Tidak semua orang tua memberikan kebebasan kepada anaknya untuk berkreasi dan memilih jalan hidupnya sendiri. Papa mengizinkan saya mengambil jurusan arsitektur, menjadi ketua himpunan, menunda kelulusan untuk bisa bantu-bantu di KM ITB, menjadi Sekjen PPI Belanda, dan berbagai kebebasan lain yang saya rasa belum tentu didapatkan oleh teman-teman saya, apalagi sebagai perempuan.
Papa adalah teladan saya soal amar makruf nahi munkar. Papa yang mengajarkan soal idealisme dalam beragama, dan menerapkannya dalam seluruh aspek kehidupan. Dari Papa saya belajar diversifikasi portofolio investasi.
Tapi yang Papa utamakan bukan uang, melainkan amalan untuk akhirat. Saya melihat kiprah Papa yang mungkin bikin heran karena ada macam-macam yang dikerjakan dari mulai kegiatan politik, sosial, bisnis, tapi saya tahu Papa melakukan semuanya dengan hati tulusnya.
Papa benar-benar istimewa, bukan hanya bagi saya tapi juga bagi teman-teman saya. Saya masih ingat bagaimana Papa memancing kami untuk mengkritisi Kereta Cepat di tahun 2016 yang akhirnya menjadi materi aksi pertama KM ITB di kepengurusan Kabinet Nyala.
Pagi ini Zaky bahkan mengingatkan kami, sepulang aksi di depan istana 2016 lalu, Papa membelikan makan KFC untuk teman-teman serombongan bus. Papaku donator pasukan nasi bungkus, padahal gak ada untungnya juga buatnya.
Papa juga menemani temanku, Oya, yang fans berat Inter Milan bertemu dengan pemain Inter Milan di Balai Kota DKI Jakarta. Padahal itu pun bukan klub favoritku. Papa juga hobi masakin bakso kalau ada teman-teman main ke rumah. Salah satu momen yang aku ingat adalah ketika teman-teman IMA-G menginap di rumah saat nikahan Iin. Orang tua mana lagi yang melakukan ini?
Saya juga tidak mungkin lupa bagaimana Papa merawat Mama selama Mama sakit. Papa sendiri yang bolak-balik mengurus BPJS saat Mama melawan kanker yang dideritanya di tahun 2017. Selama Mama harus operasi dan kemoterapi, hanya sedikit momen di mana saya harus menggantikan beliau menjaga Mama.
Saya juga tidak lupa bahwa ketika keluarga kami tidak lagi diberikan kelapangan harta, Papa tetap mengajarkan kami bagaimana caranya menjadi individu pemurah. 1 Januari 2021, hari itu Jakarta banjir besar. Kami tak punya banyak uang, dan sadar tak banyak restoran buka sejak pagi hari.
Kami diajak masak sekeluarga, menyiapkan 100 nasi bungkus untuk warga yang menjadi korban banjir. Menjelang Ramadhan, kami selalu diajak kerja sekeluarga membungkus sembako untuk warga sekitar.
Papa juga orang yang penuh ide, dan tidak jarang merepotkan saya dalam rencana implementasinya. Saya adalah tukang photoshop, talent voice over, dan juga videographer sekaligus talentnya yang selalu jadi korban.
Besok-besok saya akan kangen dengan kerjaan-kerjaan ajaib yang Papa berikan. Di tengah pandemi, Papa mengusulkan strategi mengumpulkan dana kurban dari muslim seluruh dunia agar daya beli yang turun dari masyarakat Indonesia bisa terbantu.
Papa betul-betul man of action. Kalau ada ide pasti akan dicari cara untuk merealisasikannya. Sejak pandemi, Papa selalu bilang bahwa food supply chain kita bisa jadi akan bermasalah. Sejak saat itu Papa menekuni hidroponik di rumah. Menanam selada, pakchoy, bayam, dan berbagai sayuran supaya kami bisa belajar bertahan di tengah keterbatasan.
Papa adalah orang yang selalu punya waktu untuk teman dan keluarganya. Papa yang menemani keponakan-keponakannya bertemu psikolog jika ada masalah kesehatan mental. Papa yang akan membantu siapapun yang meminta tolong. Saya belajar banyak soal kepedulian dari Papa.
Saya menyaksikan juga bahwa Papa saya adalah seorang pembelajar. Mama sampai sering meledek Papa ”si mahasiswa sosiologi”, ”si mahasiswa politik”, dan lain sebagainya karena berbagai buku yang bergelimpangan di rumah. Tidak semua orang tua bisa diajak diskusi berbagai isu dari mulai politik, sosial, bisnis, sampai ke perubahan iklim.
Jika ukurannya adalah dunia, Papa mungkin bukan pebisnis sukses, bukan politisi andal, bukan ilmuwan terkenal. Tapi saya menyaksikan beliau menjalani hidupnya dengan benar-benar hidup, sebagai pejuang dengan idealisme, sebagai pekerja yang tak kenal lelah. Sebagai ayah yang penuh cinta, sebagai suami yang selalu berusaha memberi yang terbaik, sebagai teman yang hangat, sebagai kakak/adik/paman yang penuh perhatian. Saya rasa semua yang kenal beliau akan mengamini hal ini.
*
Hari ini Papa meninggal di tengah perjalanannya menyampaikan sharing tentang Digital Fundraising untuk Lazismu Jawa Timur atas undangan Pakpuh Zainul Muslimin. Katanya, akhir hidup seseorang adalah gambaran kehidupannya. Meski tidak menghabiskan akhir hayatnya bersama kami, anak dan istrinya, saya harap Papa tahu bahwa kami bangga padanya. Terlepas dari semua kekurangannya, kami selalu merasa Papa adalah orang yang istimewa.
Besok-besok saya tentu masih akan menangis, meski mudah-mudahan tidak sebanyak hari ini. Tapi saya lebih ingin fokus ke memperbanyak amal jariyah yang bisa sampai ke Papa. Saya ingin meneruskan bekal yang dititipkan kepada anak-anaknya.
Saya cuma berharap saya bisa jadi kakak yang baik, sebagaimana pesan Papa, yang bisa jadi teladan bagi adik-adiknya, dan juga hadir secara utuh bagi mereka meski kami hidup berjarak secara fisik.
Saya hanya berharap saya bisa menjadi orang tua seperti Papa dan Mama. Mama pernah bilang, mungkin Mama bukan ahli ibadah yang luar biasa. Tapi Mama mengabdikan hidupnya untuk anak-anak dan berharap itu dihitung sebagai nilai ibadah oleh Allah. Tanpa pernah Papa utarakan, saya pun menyaksikan Papa memegang prinsip itu erat-erat.
Saat ini saya belum yakin ingin menjadi apa, tapi dari Papa saya belajar bahwa yang penting adalah melakukan apa. Dari semua hal di dunia ini, cita-cita terbesarku adalah menjadi orang tua sebaik Papa dan Mama, bahkan lebih baik dari mereka, jika Allah mengizinkan.
Saya juga hanya bisa berharap bahwa saya dan suamiku, Bang Radja, bisa menjadi pasangan yang seperti Papa dan Mama. Meski tidak sempurna, Mama dan Papa selalu berusaha untuk bisa bersama dalam kerangka kebaikan, mengabdikan hidupnya untuk anak-anak dan juga orang di sekitarnya.
Saya juga berharap Allah memberikan saya kekuatan untuk bisa istiqomah mengumpulkan bekal demi memberikan mahkota dan jubah keagungan di akhirat kelak, untuk Papa dan Mama.
Selamat jalan, Pa. Kami iri dengan Papa yang selalu berkreasi dengan penuh suka cita. Semoga kami bisa menikmati perjalanan kami di dunia untuk bisa menjadi yang kaya dan tenang di akhirat kelak.
We love you, always
Editor Sugeng Purwanto