KH Hasan Basri, Alumnus Mu’allimin yang Jadi Ketua Umum MUI Tiga Periode, oleh M. Anwar Djaelani, penulis buku Jejak Kisah Pengukir Sejarah
PWMU.CO – KH Hasan Basri yatim di usia tiga tahun. Meski begitu, capaian dakwahnya, dalam pengertian luas, mengagumkan. Dia, yang lulusan Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah Yogyakarta, antara lain pernah menjadi anggota parlemen, peserta pertemuan berskala dunia, dan Ketua Umum MUI tiga periode.
Hasan Basri aktif berorganisasi dan cakap berkhotbah atau berpidato. Atas berbagai aktivitas yang dijalaninya dan beragam keterampilan yang dimilikinya itu, membawa Hasan Basri terlibat secara positif di banyak pergerakan sosial dan politik.
Pendidikan dan Interaksi
Hasan Basri lahir pada 20 Agustus 1920 di Muara Teweh Kalimantan Tengah. Orangtuanya, pasangan Muhammad Darun dan Siti Fatimah. Pada 1923 sang ayah wafat. Lalu, Hasan Basri bersama sang ibu tinggal besama kakeknya.
Pada 1927, Hasan Basri mulai bersekolah. Pagi di Sekolah Rakyat dan sore di Madrasah Diniyah Awaliyah Islamiyah. Sekolah Rakyat ditamatkannya pada 1933. Mestinya, dia bisa melaju ke jenjang berikutnya. Hanya saja, mengingat pendidikan Hasan Basri di Madrasah Diniyah Awaliyah Islamiyah belum selesai, maka sang kakek meminta untuk merampungkannya terlebih dahulu sebelum melanjutkan sekolah.
Pada 1935 pendidikan Hasan Basri di Madrasah Diniyah Awaliyah Islamiyah selesai dengan nilai sangat baik. Nilai itu memungkinkannya masuk sekolah lanjutan menengah pertama tanpa ujian.
Hasan Basri lalu merantau. Dia masuk Madrasah Tsanawiyah Muhammadiyah Banjarmasin. Di sekolah ini Hasan Basri mengenal Muhammadiyah, termasuk dengan tokoh-tokohnya.
Saat di Madrasah itu, Hasan Basri sempat bertemu langsung dengan Buya Hamka. Kala itu sang ulama menjadi utusan Pimpinan Pusat Muhammadiyah mengunjungi sekolahnya. Pada pertemuan itu, Hasan Basri kagum dan lalu menjadikan Hamka sebagai idola.
Seperti di jenjang pendidikan sebelumnya, prestasi Hasan Basri di Madrasah Tsanawiyah Muhammadiyah Banjarmasin tetap menonjol. Dia lulus pada 1938 dengan nilai sangat baik. Dengan capaian itu Hasan Basri memenuhi syarat bersekolah di Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah Yogyakarta, sebuah sekolah kader.
Hasan Basri kembali merantau, masuk Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah Yogyakarta pada 1938. Mestinya, keseluruhan masa pendidikan empat tahun, tapi dia mampu menyelesaikannya setahun lebih cepat yaitu pada 1941.
Hasan Basri beruntung. Saat di Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah Yogyakarta dia berkesempatan mengenal sejumlah ulama sekaligus tokoh pergerakan seperti Mas Mansur, Farid Ma’ruf, Ahmad Badawi, Sutan Mansur, dan Abdul Kahar Muzakkir. Tentu, interaksi Hasan Basri dengan aktivis tingkat nasional itu membuat ilmu dan pengalamannya makin matang (https://ibtimes.id 21 Juni 2020).
Ada hal menarik lain. Saat Hasan Basri belajar di Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah Yogyakarta, dia berteman akrab dengan Djarnawi Hadikusumo, putra Ki Bagus Hadikusumo. Belakangan, ebagaimana sang ayah, Djarnawi Hadikusumo juga menjadi tokoh nasional. Dia, antara lain, mendapat amanah sebagai anggota PP Muhammadiyah dalam beberapa periode.
Sesudah lulus dari Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah Yogyakarta, Hasan Basri menikah dengan Nurhani. Usia Hasan Basri ketika itu 21 tahun. Adapun Nurhani juga lulusan sekolah kader Muhammadiyah di Yogyakarta.
Baca sambungan di halaman 2: Berjuang dan Berjuang!