PWMU.CO – Dosen AIK harus berpendidikan doktor dan berkualifikasi guru besar. Juga harus terlibat aktif di dunia riset nasional atau internasional.
Demikian salah satu agenda besar yang dibahas dalam Musyawarah Nasional (Munas) Asosiasi Lembaga Al-Islam dan Kemuhammadiyahan (ALAIK) ke-1, yang digelar di Universitas Ahmad Dahlan, Sabtu-Ahad (5-6/2/22).
Sekjen dan Ketua Panitia Munas ALAIK Miftahul Haq mengatakan, memasuki abad kedua, Muhammadiyah mengusung tiga agenda besar dalam komitmen arah dakwah. “Pertama, Internasionalisasi Muhammadiyah, kedua, digitalisasi dakwah Muhammadiyah, dan ketiga adalah pengembangan keilmuan dan teknologi Muhammadiyah,” ujarnya.
Untuk mewujudkan hal tersebut, kata dia, dibutuhkan jiwa atau ruh gerakan, yaitu Pendidikan Al Islam Kemuhammadiyahan (AIK) di Perguruan Tinggi Muhammadiyah (PTM). “Untuk menjadikan pendidikan AIK sebagai ruh/jiwa sebagai agenda dakwah Muhammadiyah di abad kedua, maka dibutuhkan reaktualisasi pendidikan AIK di PTM,” ungkapnya.
Tiga Agenda Besar
Menurut Miftahul Haq, tiga agenda reaktualisasi pendidikan AIK, yang pertama adalah penguatan sumber daya dosen AIK di PTM. Posisi SDM dosen AIK memiliki posisi yang sangat penting dan utama. “Sebagai aktor dari proses reaktualisasi pendidikan AIK di PTM, maka SDM Dosen AIK harus berkualitas dan excellent,” paparnya.
Untuk mewujudkan kualitas SDM dosen AIK, sambungnya, strategi wajib adalah mendorong dosen AIK harus berpendidikan doktor (S3), baik di dalam maupun luar negeri. Juga didorong berkualifikasi Guru Besar (Profesor).
“Dosen AIK juga harus didorong agar terlibat aktif pada dunia riset, baik skala nasional dan internasional. Hal itu dalam rangka membangun roadmap pengembangan keilmuan dan teknologi Muhammadiyah, terutama di era disrupsi,” kata dia.
Kedua, terang Miftahul Haq, adalah pengembangan pendidikan, yakni pembelajaran AIK di PTM. Pola pengembangan pendidikan AIK dengan memadukan keilmuan Islam, Kemuhammadiyahan, dan keilmuan sosial-sainstifik.
“Pendidikan AIK harus mampu menjawab problematika masyarakat kontemporer, yakni masyarakat disrupsi. Untuk mampu menjawab hal itu, maka pola pendidikan AIK juga harus didorong dengan pembiasaan pembelajaran berpikir merdeka dan riset. Juga pengembangan skill untuk dapat berkiprah di tengah masyarakat,” paparnya.
Penguatan AIK
Ketiga, lanjutnya, adalah penguatan lembaga AIK di PTM. Pada konteks ini, semua stakeholder mulai Majelis Diktilitbang PP Muhammadiyah dan jajaran rektorat di semua PTM/A harus satu suara. Yakni, harus memberikan perhatian lebih terhadap kelembagaan AIK yang ada di PTM/A.
“Caranya, dengan membuat kebijakan-kebijakan yang memberi dukungan pada pendanaan maupun beragam program lembaga AIK. Alhamdulillah, pada konteks ini Majelis Diktilitbang PP Muhammadiyah sudah memberikan dukungan bagus dengan menfasilitasi pembentukan ALAIK,” jelasnya. Ke depan, sambungnya, perlu dan masih dibutuhkan supporting kebijakan yang lebih kuat lagi, yakni terkait keberadaan AIK dan ALAIK.
Munas Ke-1 ALAIK dan Seminar AIK Perguruan Tinggi Muhammadiyah/Aisyiyah berlangsung di Kampus Universitas Ahmad Dahlan (UAD). Kegiatan tersebut dihelat secara luring dan daring (hybrid), yang diikuti kurang lebih 55 lembaga AIK PTM/A se-Indonesia. (*)
Penulis Sholikh Al Huda. Co-Editor Darul Setiawan. Editor Mohammad Nurfatoni.