Pak Yahya Muhaimin, Mendiknas Melarangnya Terima Gelar Profesor oleh Prof Dr Purnawan Basundoro MHum, Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga.
PWMU.CO– Ada satu hal yang saya ingat betul sampai saat ini mengenai Pak Yahya Muhaimin. Tahun 1999 saat baru saja menjabat sebagai Menteri Pendidikan Nasional, dia menghadiri pengukuhan Pak Amien Rais sebagai guru besar (profesor) di Universitas Gadjah Mada.
Setelah acara usai, wartawan mendekatinya dan bertanya, ”Kapan Bapak akan dikukuhkan sebagai guru besar seperti Pak Amien Rais?”
Dia dengan ringan menjawab, ”Menteri Pendidikan Nasional melarang untuk menetapkan saya sebagai guru besar.”
Saat itu dia yang tengah menjabat sebagai Menteri Pendidikan Nasional. Dengan demikian, dia yang melarang dirinya sendiri untuk mendapatkan jabatan guru besar. Percakapan antara wartawan dengan Pak Yahya Muhaimin waktu itu sempat diwartakanoleh beberapa surat kabar.
Ada beberapa hal yang perlu digarisbawahi atas jawaban tersebut. Pertama, saat seorang dosen mendapat jabatan (struktural) di luar perguruan tinggi otomatis status sebagai dosen dilepas sehingga tidak berhak menerima kenaikan jabatan akademik.
Kedua, bisa saja sebenarnya Pak Yahya Muhaimin memaksakan diri memberi kenaikan jabatan akademik guru besar ke dirinya sendiri, dengan dalih bahwa status sebagai dosen masih disandangnya walaupun sedang menjabat sebagai menteri.
Pasti hal yang mudah sebagai seorang menteri memberi instruksi ke Dirjen Dikti untuk memproses kenaikan jabatan tersebut. Toh Pak Yahya pada waktu itu dengan berbagai karyanya yang banyak pasti sudah memenuhi syarat sebagai guru besar.
Namun hal itu tidak dilakukannya. Dia sadar betul sebagai seorang pejabat publik tidak mau ada conflict of interest pada dirinya. Dia tidak ingin mengeluarkan surat keputusan (SK) yang ditandatangani sendiri dan untuk dirinya sendiri. Ia tidak ingin menangguk keuntungan pribadi atas jabatan yang disandangnya
Alhasil, dia baru mendapatkan kenaikan jabatan akademik guru besar setelah satu tahun lebih lengser sebagai Menteri Pendidikan Nasional. Dia menjabat sebagai Menteri Pendidikan Nasional pada tahun 1999-2001, dan mendapatkan jabatan akademik guru besar tahun 2003.
Dengan demikian, jabatan guru besar ia dapatkan saat berposisi murni sebagai seorang dosen, sebagai orang biasa bukan sebagai pejabat.
Pak Yahya Muhaimin lahir dari keluarga aktivis Muhammadiyah di Bumiayu, sebuah kota kecil yang terletak beberapa puluh kilometer dari Kota Purwokerto. Ayahnya seorang wirausaha sedangkan ibunya guru sekolah dasar yang menghendaki agar Yahya Muhaimin menjadi seorang guru juga.
Selepas SMA di Purwokerto, Yahya Muhaimin melanjutkan studinya di Jurusan Hubungan Internasional Fisipol Universitas Gadjah Mada. Selama menjadi mahasiswa ia aktif berorganisasi, terutama di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dan di Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM).
Pada akhirnya keinginan ibunya agar Yahya Muhaimin menjadi seorang guru kesampaian. Setelah Yahya Muhaimin lulus sebagai sarjana Hubungan Internasional, dia diangkat sebagai dosen di almamaternya.
Kemudian dikenal sebagai pengamat militer yang andal. Bukunya berjudul Perkembangan Militer dalam Politik di Indonesia 1945-1966 menjadi rujukan utama untuk siapapun yang meneliti perkembangan militer di Indonesia. Analisis militernya sering menghiasi surat kabar
Dia menamatkan pendidikan doktor di Massachusetts Institute of Technology (MIT) Amerika Serikat pada tahun 1982. Disertasi doktornya berjudul The Politic of Client Businessmen; Indonesian Economic Policy 1950-1980.
Disertasi tersebut pada tahun 1991 diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan diterbitkan oleh LP3ES dengan judul Bisnis dan Politik: Kebijaksanaan Ekonomi Indonesia 1950-1980.
Terbitnya buku tersebut langsung menyulut kemarahan adik tiri Presiden Soeharto, Probosutedjo. Ia meradang karena buku itu membahas bisnisnya yang dianggap sebagai bisnis yang dibesarkan oleh kekuasaan kakak tirinya.
Probosutejo mengajukan somasi agar buku yang sudah telanjur beredar tersebut ditarik semuanya dari pasaran.
Semula pihak LP3ES tidak mau melayani somasi tersebut, dan menginginkan agar kasus itu masuk ke ranah hukum saja. Biarkan hukum yang membuktikan apakah kajian akademis tersebut salah.
Namun, Yahya Muhaimin tidak ingin kasus tersebut membuat kondisi menjadi semakin keruh. Ia tidak mau berkonflik dengan pihak yang sedang kuat-kuatnya berkuasa, sehingga jalan yang ia pilih adalah minta maaf.
Kariernya di PP Muhammadiyah adalah sebagai Ketua Majelis Pendidikan Tinggi, sedangkan karirnya di birokrasi, sebelum menjadi Menteri Pendidikan Nasional adalah Dekan Fisipol UGM dan Atase Pendidikan dan Kebudayaan di Washington DC Amerika Serikat.
Kita semua kehilangan atas kepergian Bapak Yahya A. Muhaimin. Semoga amal kebaikannya diterima oleh Allah swt. Aamiin. (*)
Editor Sugeng Purwanto