Bagaimana Hukum Poligami di Dua Dunia: Nyata dan Metaverse? Liputan Kontributor Gresik Sayyidah Nuriyah.
PWMU.CO – Ketua Komisi Pengkajian, Penelitian, dan Pelatihan MUI Jawa Timur Prof Dr KH M Noor Harisudin MFilI hadir dalam Webinar Nasional bertema Beragama di Era Metaverse, Selasa (22/2/22) malam.
Prof Haris—panggilan akrabnya—mengatakan bisa jadi akan ada semacam ushul fikih baru khas era Metaverse yang mengonstruksi ulang makna taklif, mukallaf, dan fi’lul mukallaf.
Dalam pemaparannya, dia mendiskusikan gagasan aktivitas neurotik sebagai perbuatan mukallaf. Di mana fi’lul mukallaf tidak lagi dimaknai sebagai aktivitas tubuh (fisik), melainkan aktivitas neurotik dalam pikiran.
Prof Haris mencontohkan, “Ketika pikiran kita mengimajinasikan diri kita dalam aktivitas shalat, di mana hal tersebut dapat menggerakkan avatar kita di Metaverse untuk shalat, maka menurut ushul fikih era Metaverse ini bisa dianggap cukup sebagai pelaksanaan kewajiban shalat,” ujarnya.
Faktanya, kata Prof Haris, fi’lul mukallaf tidak hanya aktivitas anggota tubuh (fi’lul jawarih). “Tapi juga meliputi niat yang berbasis di al-qalb,” tegasnya.
Guru Besar UIN Kiai Haji Achmad Siddiq Jember itu merujuk pernyataan Jasser Auda dalam at-Tafkir al Maqashidy, al-qalb dalam al-Quran bermakna al-aql.
Dia memaparkan, dalam fikih, orang yang sama sekali tidak mampu menggerakkan tubuhnya, asalkan masih punya kesadaran, tetap wajib shalat dengan cara mengimajinasikan shalat. Di situlah, menurut Prof Haris, ada celah untuk merekonstruksi makna fi’lul mukallaf.
Transaksi Digital dalam Metaverse
Prof Haris—panggilan akrabnya—memaparkan, Metaverse mungkin segera berdampak pada ranah ibadah ghairu mahdhah (seperti zakat) dan ranah muamalah.
Ketika nanti dunia siap menggunakan cryptocurrency dan meninggalkan sistem perbankan konvensional, kata Prof Haris, bisa muncul pertanyaan kewajiban zakat pada crypto dan aset-aset sejenisnya
Selain itu, menurutnya, fakih zamanih—zaman Metaverse—harus menjawab persoalan-persoalan terkait muamalah maliyyah mu’ashirah. Berupa transaksi-transaksi digital yang beredar di Metaverse.
Dia menerangkan, saat ini pandangan dunia secara intersubjektif tidak melihat aset-aset NFT sebagai harta. Namun, pandangan dunia akan berubah seiring kemunculan pasar aset NFT. Ketika berubah, lanjutnya, aset NFT yang awalnya bukan harta, akan dianggap komoditas yang sah dijualbelikan.
Prof Haris melontarkan pertanyaan mendasar, “Islam mengikuti perubahan atau perubahan mengikuti Islam?”
Dia menekankan, sejatinya, perubahan hukum atau fatwa bukan dipengaruhi perubahan waktu, tempat, maupun situasi. Tapi oleh perubahan world view (pandangan dunia).
Sekretaris Jenderal Majelis Ulama Indonesia (MUI) Dr Amirsyah Tambunan yang juga hadir di Zoom itu menjawab mengapa MUI mengharamkan cryptocurrency.
Pertama, karena tidak mempunyai syarat syirkah. Kedua, erat kaitannya dengan pinjaman online, mengandung dharar. “Tujuan maslahatnya tidak tercapai,” ujarnya.
Bicara transaksi keuangan, Amirsyah Tambunan mengingatkan, Ijtima Ulama ke-7 Tahun 2011 secara tegas mengharamkannya. “Walaupun mengatakan bagian dari Metaverse yang bisa diperjualbelikan, tapi tujuan maqashidnya terabaikan,” imbuhnya.
Baca sambungan di halaman 2: Poligami di Dua Dunia