Poligami di Dua Dunia
Metaverse menurut Prof Haris juga akan berpengaruh dalam konteks hukum keluarga atau al ahwal as syakhsiyyah. Dia lantas mengurai tantangan-tantangan yang mungkin muncul di dunia Metaverse.
“Hubungan suami istri digital boleh tidak? Di dunia nyata nanti punya istri sendiri, kemudian di dunia Metaverse dia juga menikah dengan yang lain (poligami),” ujarnya.
Kemudian, saat ada yang tidak puas dengan pasangan nyata, mungkin juga ada yang menjalin hubungan dengan ‘pasangan maya’.
“Bagaimana menurut fikih jika nanti benar-benar ada alat yang dapat menghubungkan manusia di Metaverse tanpa bersentuhan secara fisik tetapi yang berhubungan dapat merasakan sensasi sentuhan persis seperti dunia nyata?” imbuhnya.
“Apakah manusia yang mau berhubungan seksual di Metaverse harus melangsungkan akad nikah terlebih dahulu?Mungkinkah yang tidak mampu berpoligami di dunia nyata bisa memanfaatkan Metaverse untuk melampiaskan keinginan yang selama ini terpendam?” tambah Prof Haris.
Di sinilah, menurut Prof Haris, pentingnya agama memberi acuan bagaimana yang benar. Meskipun itu dunia ilusi atau imajinasi, lanjutnya, tapi agama harus hadir untuk mengendalikan manusia.
Dengan begitu, manusia tetap pada tujuan penciptaannya yaitu menghamba kepada Allah SWT. “Di situlah keshalihan sosial di medsos diperlukan,” imbuhnya.
Amirsyah Tambunan menambahkan, teknologi bebas nilai jika sudah merusak tatanan peradaban manusia dengan menghalalkan berbagai cara. Dia lantas mencontohkan fenomena bayi tabung.
“Bayi tabung itu teknologi. Kalau diambil sperma orang sembarangan, jelas itu haram. Tapi kalau sperma suami, sudah menikah sah, tidak ada masalah!” terangnya. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni