Opini oleh Nugraha Hadi Kusuma *)
PWMU.CO – “Apa yang terjadi di penghujung tahun 2015, harus dimaknai sebagai cambuk yang mengingatkan kita terhadap pentingnya Pancasila sebagai “pendeteksi sekaligus tameng proteksi” terhadap tendensi hidupnya “ideologi tertutup”, yang mengancam persatuan dan kesatuan bangsa. Ideologi tertutup tersebut bersifat dogmatis.
Ia tidak berasal dari cita-cita yang sudah hidup dari masyarakat. Ideologi tertutup tersebut hanya muncul dari suatu kelompok tertentu yang dipaksakan diterima oleh seluruh masyarakat. Mereka memaksakan kehendaknya sendiri; tidak ada dialog, apalagi demokrasi. Apa yang mereka lakukan, hanyalah kepatuhan yang lahir dari watak kekuasaan totaliter, dan dijalankan dengan cara-cara totaliter pula. Bagi mereka, teror dan propaganda adalah jalan kunci tercapainya kekuasaan.
(Baca: Soal Lahirnya Pancasila 1 Juni, Piagam Jakarta, dan Peran Politik Umat Islam)
Syarat mutlak hidupnya ideologi tertutup adalah lahirnya aturan-aturan hingga dilarangnya pemikiran kritis. Mereka menghendaki keseragaman dalam berpikir dan bertindak, dengan memaksakan kehendaknya. Oleh karenanya, pemahaman terhadap agama dan keyakinan sebagai bentuk kesosialan pun dihancurkan, bahkan dimusnahkan. Selain itu, demokrasi dan keberagaman dalam ideologi tertutup tidak ditolelir karena kepatuhan total masyarakat menjadi tujuan.
Tidak hanya itu, mereka benar-benar anti kebhinekaaan. Itulah yang muncul dengan berbagai persoalan SARA akhir-akhir ini. Disisi lain, para pemimpin yang menganut ideologi tertutup pun memosisikan dirinya sebagai pembawa “self fulfilling prophecy”, para peramal masa depan. Mereka dengan fasih meramalkan yang akan pasti terjadi di masa yang akan datang, termasuk dalam kehidupan setelah dunia fana, yang notabene mereka sendiri belum pernah melihatnya.”
***
Kutipan pidato Megawati Soekarnoputri pada HUT PDIP ke-44 di atas, menjadi kontroversi di media sosial. Beliau menggambarkan fenomena fundamentalisme pasar dan agama yang mengalami degradasi implementasi nilai-nilai intrinsik, instrumental, dan praksis—yang seakan-akan menjadi ideologi utopia sebagai akibat kehilangan kesadaran dan pemahaman terhadap identitas personal.
Kita tahu beliau Muslimah. Beliau harusnya mampu menerjemahkan pendapat ayahnya Sang Proklamator (1963) yang mengatakan “Pancasila adalah Cahaya dari Nilai-Nilai Islam”. Dengan kata lain Islamlah yang mendasari ideologi bangsa. Pandangan beliau bias oleh kemilau pasar dan jauhnya dari diskursus ke-Islaman, maka kutipan pidato di atas menggambarkan sikap ragu terhadap Islam sebagai sistem kehidupan.
(Baca: Drama Piagam Jakarta 22 Juni: Berawal Panitia 8, Berakhir di Tangan Panitia 9)
Kalau kita kaji, ideologi atau dalam bahasa Arabnya disebut idiyuluji atau mabda’ seperti halnya beberapa istilah lain seperti aqidah, dharibah (pajak), dustur (UUD) dan qanun (UU) merupakan istilah serapan yang akhirnya diadopsi oleh kaum muslimin karena mengandung makna yang tepat terhadap berbagai khazanah Islam yang ada.
Ideologi atau mabda’ merupakan pemikiran paling mendasar yang tidak dibangun dari pemikiran yang lain. Pemikiran seperti ini hanya ada pada pemikiran yang menyeluruh tentang alam, manusia, kehidupan, serta apa yang ada sebelum dan sesudahnya. Juga hubungan antara ketiga unsur tersebut dengan apa yang ada sebelum dan sesudahnya (Muhammad Muhammad Ismail, Al-Fikr Al-Islamy, hal: 9-10).
(Baca juga: 3 Masjid yang Jadi Monumen Perjuangan Merebut Kemerdekaan RI)
Ideologi juga didefinisikan sebagai aqidah aqliyah (aqidah yang lahir dari sebuah proses berpikir/aqidah yang rasional) yang melahirkan nizham (peraturan). Apapun definisinya, terminologi ideologi yang dipahami secara umum selalu merujuk pada “ide atau gagasan”. Kata ideologi sendiri diciptakan oleh Antoine Destutt de Tracy pada akhir abad ke-18 untuk mendefinisikan “sains tentang ide”; Ide = gagasan, logi = ilmu/sains. Secara umum ideologi dapat dianggap sebagai visi yang komprehensif, sebagai cara memandang segala sesuatu. Baca sambungan di halaman 2: Tujuan utama di balik ideologi …