Berita Rasa Sastra, Oh Begitu Menulisnya ditulis oleh Saparna, kontributor PRM Wage Sidoarjo.
PWMU.CO– Membaca undangan Roadshow Milad Ke-6 PWMU.CO di Gedung Dakwah PDM Lamongan, Sabtu (19/2/22), ingin sekali ikut. Materinya menarik. Menulis Softnews, Berita Rasa Sastra.
Saya yang sudah ikut pelatihan dasar jurnalistik di PRM Wage Sidoarjo ingin naik kelas. Tiga tulisan sayapun sudah dimuat di PWMU.CO. Namun sayang, kondisi badan masih dalam pemulihan setelah sakit lambung sehingga tidak bisa berangkat ke Lamongan.
Saya membayangkan betapa gembiranya bisa datang ke sana bertemu dan berkenalan dengan para kontributor PWMU.CO dari berbagai daerah. Seperti Surabaya, Madura, Gresik, Lamongan, Tuban, Bojonegoro, dan Sidoarjo.
Alhamdulillah, ada UMLA TV yang meliput acara itu lantas diunggah di channel Youtube sehingga saya bisa ikut menikmati dan merasakan meriahnya acara itu. Ahad pagi saya buka channel itu.
Materi Berita Rasa Sastra baru saya pahami dari penyampaian Drs Sugeng Purwanto, Ketua Lembaga Informasi dan Komunikasi PWM jatim. Mengawali materinya pria yang sering disapa SGP ini menerangkan tentang straight news, soft news, dan feature.
”Bentuk tulisan di media massa umumnya tiga jenis itu. bentuk straight news yang dominan sebagai laporan peristiwa yang langsung pada pokok masalah dengan prinsip 5W dan 1H. Bahasanya lugas dan to the point. Bahasanya garing,” kata Sugeng yang pernah menjadi wartawan Surabaya Post.
Sedangkan soft news berupa berita sampingan bersifat ringan dan menghibur. Biasanya memuat profil artis yang cantik atau tokoh lainnya. ”Ada lagi feature biasanya produk sampingan dari straight news yang mengungkapkan sisi lain dari berita. Memuat sisi humanis, kemanusiaan, atau peristiwa di balik berita,” tandasnya.
Feature, sambung dia, cara menulisnya dengan gaya bahasa sastra, tetap berdasar pada 5W 1H. Gaya tulisan lembut untuk membangkitkan perasaan pembaca. ”Untuk bisa menulis dengan gaya bahasa sastra syaratnya harus banyak membaca, kulakan kosa kata, istilah-istilah baru dari gaya bahasa atau dialek yang khas seseorang,” tuturnya.
Feature walaupun bergaya sastra seperti novel tetap berpijak kepada fakta dan data peristiwa sebenarnya. Jadi bukan fiksi atau imajinasi penulis.
”Dulu tahun 1999 ada Majalah Pantau yang semua tulisannya bergaya sastra. Majalah ini yang mengenalkan istilah jurnalisme sastra atau jurnalisme naratif untuk tulisan berita berbentuk novel itu,” jelasnya. Tulisan seperti ini bisa juga dibaca di Majalah Tempo, tirto.id, atau historia.id.
Bahasa feature yang sastra itu dengan memakai metafora atau majas. Dia mencontohkan kalimat bergaya sastra itu misalnya untuk menyebut pagi, bisa ditulis ’Ketika matahari mulai naik …’ Lebih mengandung cita rasa bahasa.
Waktu menggambarkan suasana hening bisa dengan kalimat ’Anginpun tidak bertiup sehingga daun-daun di ujung ranting itu diam tak berisik.”
”Anwar Hudiono wartawan dari Kompas yang sekarang menulis di PWMU.CO sering menggunakan bahasa khas Suroboyoan. Seperti ketika menggambarkan sesuatu yang muskil terjadi dengan ungkapan seperti cecek nguntal dingklik.
Mengembangkan 5W 1H
SGP yang tampil dengan baju lengan pendek warna putih bergaris-garis biru lembut itu menjelaskan, feature bergaya sastra merupakan pengembangan unsur 5W 1H yang merangkai kejadian menjadi cerita menarik dengan bahasa yang menggugah perasaan.
Dalam feature maka 5W 1H berkembang What menjadi plotting berita yang harus diungkap dengan detail. Who: harus ditampilkan dengan karakter tokohnya yang lengkap. Tidak sekadar jabatannya. Tetapi fisik orangnya, gaya bicaranya, pakaiannya, gaya berjalan, dan lainnya.
”Pernah terjadi debat di televisi soal DN Aidit itu merokok apa tidak. Di film G30S digambarkan merokok. Anak Aidit menilai film itu hoax sebab menurut ibunya, bapaknya tidak merokok. Tetapi kesaksian wartawan yang mewawancarai Aidit tahun 1964, ada tulisan yang menggambarkan selama wawancara Aidit merokok terus menerus. Tulisan itu menjadi fakta dokumen yang valid,” tandasnya.
Where: menjadi setting kejadian. Gambarkan lokasi peristiwa sedetailnya. Seperti luas, bentuk gedung beserta isinya, apa saja yang ada di situ,.
When: menampilkan kronologi terjadinya peristiwa, tidak sekadar kapan terjadinya. Tetapi digali secara detail suasananya. Why: harus bisa mengungkapkan mengapa peristiwa itu terjadi. How: menjelaskan tentang pelaku korban, motif dari perbuatan.
Dengan pengembangan itu maka rangkaian tulisan menjadi komposisi adegan demi adegan yang dibangun seperti cerita novel.
”Dialog untuk menggambarkan karakter tokoh maka tulislah ungkapan-ungkapan khas, yang lucu, yang menarik. Jangan suka menulis pernyataan basa-basi atau formalitas,” tandasnya.
Sudut pandang penulis sebagai orang ketiga harus mampu menceritakan suasana lokasi kejadian. Detail karakter tokoh ditonjolkan, seperti gaya bicara, pakaian, kebiasaannya.
Contoh kisah yang ditulis di historia.id tentang peristiwa KH Ahmad Dahlan menjemput temannya di Stasiun Tugu Yogyakarta, karakter tokohnya ditulis detail.
Kereta api dari Surabaya tiba di Yogyakarta. Dari sekian banyak penumpang yang turun, muncul sosok laki-laki yang penampilannya cukup menarik perhatian. Di dadanya tersemat empat huruf Arab: Ha ‘Ain, Kaf, Hamzah.
KH Ahmad Dahlan yang sedari tadi menunggu di Stasiun Tugu langsung menyongsong laki-laki tersebut. Pimpinan Muhammadiyah itu tahu bahwa HAKA, potongan-potongan huruf itu merupakan inisial dari Haji Abdul Karim Amrullah.
Bukanlah huruf-huruf itu yang menjadi perhatiannya, melainkan terbusnya., celana pantalonnya, baju setengah tiang hitam, kaca mata, dan tongkat. Pakaiannya itu membedakan dengan kiai dari Jawa. (*)
Editor Sugeng Purwanto