Bukan Negara Otoriter
Kekuasaan yang diperoleh dari hasil pemilihan umum, “mengambil dan meminta” suara rakyat tidak selayaknya digunakan untuk membungkam aspirasi masyarakat. Sejarah kelam demokrasi terpimpin dan demokrasi orde baru yang mengabaikan aspirasi masyarakat bisa berulang, atau akan lebih buruk dampaknya pada masyarakat.
Pemerintahan yang enggan dikontrol atau antipati dengan suara kritis masyarakat hanya pantas diterapkan di negara otoriter. Demokrasi yang sehat mendengar aspirasi masyarakat, memberdayakan serta melibatkan masyarakat dalam pembuatan kebijakan.
Tiket menjadi pejabat atau wakil rakyat bukan cek kosong yang bebas ditulis nominal dan peruntukannya. Cek di tangan para pejabat dan wakil rakyat wajib dipertanggungjawabkan melalui audit instansi terkait, mulai dari inspektorat, Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan sampai Badan Pemeriksa Keuangan.
Pemerintahan dan wakil rakyat yang sehat tidak akan mudah mengingkari amanat masyarakat. Konstitusi memang bukan kitab suci yang tidak bisa diubah, tetapi konstitusi laksana Piagam Madinah yang disepakati Rasulullah bersama sahabat dan masyarakat demi mewujudkan tatanan masyarakat bermartabat. Jika konstitusi dengan mudah diubah demi kepentingan kelompok kecil oligarki, perlahan dan pasti kerusakan demi kerusakan menanti.
Meminjam istilah di kepolisian: Salam Presisi! Kecelakan lalu lintas selalu diawali dari pelanggaran rambu-rambu. Demi NKRI tetap presisi, pemerintah, wakil rakyat dan masyarakat wajib “presisi” dalam mematuhi rambu-rambu konstitusi. Wallahu’alam bishawab. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni