Opini oleh Uzlifah *)
PWMU.CO – Pengkaderan Muhammadiyah adalah proses penyiapan generasi baru secara sistematis, terencana sesuai tahapan dan kondisi bagi kelangsungan hidup Persyarikatan. Sedangkan sistem perkaderan Muhammadiyah adalah sebuah sistematika upaya pembelajaran yang dilakukan secara terarah, terencana, sistemik, terpadu, berjenjang, dan berkelanjutan.
Tujuannya, mengembangkan potensi, mengasah kepekaan, melatih sikap, memperkuat karakter dan meningkatkan kecakapan agar menjadi manusia yang beradab, berani, santun, berkarakter, terampil, loyal, peka, mampu, dan gigih dalam menjalankan roda organisasi dalam segala upaya terwujudnya cita–cita dan tujuan organisasi, sehingga capaian, situasi dan kebutuhan tertentu dapat dikembangkan untuk mampu membantu orang lain atau dirinya sendiri guna memperbaiki keadaan sekarang dan mewujudkan masa depan yang lebih baik.
(Baca: Fenomena Ghazwul Fikr dan Ketidaksiapan Generasi Bangsa)
Sebagai sebuah organisasi yang tertib, tentunya Persyarikatan dapat mengaplikasikan sebuah sistem. Hanya saja dengan sistem yang bermakna regulasi (qaidah) itu tidak bisa menjadi jaminan akan berjalannya sebuah organisasi secara ideal. Terkadang regulasi seakan menjadi mimpi buruk dengan jebakan sistem yang birokratis dan penuh kejumudan.
Pola ini membuat orang menunggu bahkan terhenti untuk memulai perkaderan. Takut salah, dianggap tidak tahu aturan, atau terbelenggu kalimat-kalimat yang membuat berfikir ulang untuk memulai langkah-langkah perkaderan. Apalagi, rutinitas yang padat dan tak henti menimbulkan ego atau keakuan sering mewarnai gaya kepemimpinan oknum pejabat Persyarikatan.
(Baca juga: Fenomena ‘Om Telolet Om’: antara Gegar Budaya dan Kekeringan Spiritual)
Kalau sudah seperti ini maka titik lemah pada sistem evaluasi. Kenapa demikian? Sebuah aktivitas yang rutin dan berkala tidak bisa menjadi sebuah jaminan suksesnya organisasi, karena yang sukses adalah para pelaksana dan bagaimana dengan obyeknya. Fenomena ini telah terjadi di hampir semua wilayah.
Keluhan-keluhan para penggerak sama: “Kami sudah ikut aturan yang ada.” “Kami sudah mengadakan kegiatan.” Atau “Kami juga sudah melakukan perkaderan.”, setelah mereka berkata “Kami kekurangan kader”. Inilah yang terjadi dalam catatan perjalanan Konsolidasi Organisasi Pimpinan Wilayah Muhamamdiyah Jatim beberapa waktu lalu.
(Baca juga: Bertamu ke Rumah Buya: Baru Kenal Langsung Diterima Akrab, tanpa Protokoler dan Interogasi)
Memahami keluhan keluhan yang ada, akan tersirat sebuah pertanyaan, “Apa yang salah?” Jawabnya, “Tidak ada yang salah.” Semua sudah melaksanakan sebagaimana yang ditetapkan. Dari sinilah maka pimpinan harus berpikir solutif. Ketika regulasi dalam sebuah organsasi telah dilaksanakan dengan berbagai potensi yang sudah disiapkan dan tidak memberikan sebuah harapan. Maka diskresi (ijtihad) organisasi sangat dibutuhkan.
Sebagai contoh bila seorang kader dengan jenjang perkaderan yang sangat tertib, tentu sudah menjadi incaran para pimpinan yang akan dipersiapkan sebagai pengganti mereka. Nah ternyata meleset, mereka tidak bisa diandalkan. Maka perlu ada satu kebijakan (diskresi) organisasi. Baca sambungan di halaman 2: Di era 90-an …