Dibedakan Konstitusi
Feri mengibaratkan sifat kekuasaan presiden itu hampir mirip raja. Hanya saja dibatasi oleh konstitusi. “Satu-satunya perbedaan antara raja dan presiden adalah pembatasan kekuasaan, termasuk pembatasan masa jabatan ia berkuasa,” ujarnya.
Dia mengingatkan jika jabatan kekuasaan sudah selesai kemudian dilanjutkan dari apa yang tidak dikehendaki konstitusi, maka ia akan semakin mendekati sistem kerajaan. “Jadi kalau Pak Presiden atau partai-partai berencana kemudian memperpanjang masa jabatan, melanggar ketentuan konstitusi maka ada niatan langsung atau tidak langsung menjadikan sistem kita menjadi kerajaan di titik tertentu jika kita melihat pandangan seperti itu,” paparnya.
Feri mengkhawatirkan dari pernyataan-pernyataan sejumlah ketua partai itu, yang melakukan upaya perpanjangan masa pemilu, karena sudah terlalu nyaman di dalam lingkaran kekuasaan yang akan segera berakhir. Menurut Feri, mereka berpikir pragmatis, daripada mengeluarkan upaya baru untuk pemilu berikutnya, yang ada saja diperpanjang karena sudah ternikmati.
“Mungkin pembagian kekuasaannya, rempah-rempahnya kuat dan buah sudah ternikmati, jadi maunya dilanjutkan saja. Ini jelas akan merusak tatanan dan merugikan partai-partai, khususnya di luar koalisi, termasuk kehilangan kesempatan berperan dalam pemerintahan,” tandasnya.
Feri mengajak masyarakat untuk waspada, yaitu kembalinya rezim otoritarian seperti Orde Baru. Kenapa karena dalam teori politik dan hukum tata negara dikenal betul power tends to corrupt, and absolute power corrupt absolutely—kekuasaan itu cenderung disimpangkan kekuasaan absolut, sudah pasti dan pasti menyimpang.
Dengan senyum sinis, Feri berseloroh, “Jika memperpanjang masa jabatan akan menimbulkan kekuasaan baru, jangan-jangan seperti Orde Baru. Nanti tambah tiga tahun, nanti dilanjutkan dua tahun, nanggung nih tinggal dua tahun lagi.”
Baca sambungan di halaman 3: Presiden Punya Kepentingan